Oleh Andri Oktavia
Pemandangan di jelang peringatan Hari Kemerdekaan RI, tampaknya selalu sama. Dominasi warna merah putih, berbagai gelaran acara hiburan juga menambah semarak, jumlah uang yang ”dibuang” untuk berbagai acara hiburan mengatasnamakan kemerdekaan, pastinya mencapai trilyunan di seluruh Indonesia.ronisnya, trilyunan uang yang digunakan untuk ber-gembira ria tersebut, terbuang seiring dengan sifat lupa para anak bangsa. Yang tak lagi mengingat para pejuang dan keluarga mantan pejuang kemerdekaan, yang bahkan diantaranya hidup susah, cacat, atau malah sudah jadi Pahlawan Tak Dikenal.Dalam resonansi sama dengan iwanfals.co.id, pesan tak terkatakan itu rupanya juga ditangkap oleh Tiga Rambu dan TVS, lewat gelaran Aksi Sosialnya yang kali ini ditujukan ke kalangan veteran tersebut. Iwan Fals tampak tak ingin melupakan jasa para pendiri bangsa itu.
Rabu (12/8) di Gedung Wira Purusan Legiun Veteran tampak berbeda. Beberapa umbul-umbul Tiga Rambu dan TVS terpasang di gerbang gedung yang berada di Jalan Raden Inten II, Duren Sawit, Jakarta Timur itu.
Hari itu, bertepatan dengan acara peringatan Hari Ulang Tahun ke-45 Persatuan Istri Veteran RI (PIVERI). Momen tersebut juga digunakan sebagai momen Aksi Sosial Tiga Rambu, yang digelar mengikuti rangkaian Konser Bulanan 2009 Iwan Fals & Band bertema ”Introspeksi” yang akan dilangsungkan pada peringatan HUT Oi ke-10 (16/8) di Panggung Arsipel, TMII.
Puluhan istri dan veteran RI, tampak dengan sabar menunggu kehadiran rombongan Iwan Fals & Band. Sekitar pukul 10 pagi, mereka sudah tampak stand-by di lokasi acara yang bertempat di Ruang Pertemuan lantai 4 gedung LVRI DKI Jakarta itu.
Serangkaian prosesi peringatan HUT para istri veteran itu berlangsung khidmat. Para pengurus daerah LVRI DKI Jakarta dan para istri, tampak memperoleh sambutan dari Ketua PIVERI DKI, Ny Hj Soen An Noor dan Ketua LVRI DKI Jakarta, selaku pembina. Pada kesempatan tersebut juga tampak hadir Brigjen Bambang S P, dari Staf Umum TNI AD.
Sementara waktu terus berjalan, rangkaian kata sambutan juga sudah digelar. Ny Hj Soen An Noor menyatakan rasa gembiranya, di tengah HUT PIVERI, juga akan hadir legenda musik balada Indonesia, Iwan Fals. ”Suatu anugerah bagi kami, Mas Iwan Fals bisa hadir di hari bahagia PIVERI ini,” urainya.
Bahkan, disamping harapannya agar PIVERI tetap menjaga kekompakan serta berkontribusi positif bagi kemajuan dan persatuan Indonesia, dia juga menyatakan, kehadiran Iwan Fals dan keluarga, menjadi pertanda tulusnya bakti seorang anak kepada ibundanya.
Sebagai informasi, Ny Lies Haryoso, Ibunda Iwan Fals pun hadir di acara tersebut. Lies sendiri tercatat sebagai salah satu pengurus di PIVERI Pusat.
Pukul 11, Iwan Fals dan rombongan hadir. Selain Iwan Fals & Band, juga tampak ikut serta Rosana (Tiga Rambu) serta Cikal, putri Iwan Fals, dan Kresnowati.
Jajaran bangku belakang yang disediakan bersandar pada tembok pun sudah penuh terisi sebagian dari kalangan Oi. Tampak pula hadir Ketua Oi Pusat, Digo, serta beberapa anggota Ormas FKPPI, berpakaian preman.
Usai mensilahkan duduk, acara lantas beranjak ke sambutan dari Tiga Rambu, yang dibacakan oleh Kresnowati. Sebelumnya sambutan juga diisi oleh Ketua LVRI DKI yang juga sebagai pembina PIVERI.
Dalam kata sambutannya, Kresnowati mengatakan alasan digelarnya acara aksi sosial Tiga Rambu di LVRI ini, yang menurutnya sebagai satu penghormatan kepada kalangan pendiri bangsa ini.
Disamping itu menurutnya pada bulan Agustus ini, selalu menjadi bulan yang punya aksen tersendiri bagi Tiga Rambu, terutama karena berbarengan dengan HUT RI, HUT Ke-10 Oi pada tahun ini, serta ulang tahun pertama website official Iwan Fals, www.iwanfals.co.id.
Penghujung peringatan demi peringatan tersebut, juga akan digelar konser Iwan Fals & Band, berupa Konser Kemerdekaan Satu Untuk Indonesia – INTROSPEKSI, Hidup Bersama Harus Dijaga.
Usai sambutan Kresnowati, giliran Rosana dari Tiga Rambu, menyerahkan bantuan secara simbolis kepada Ny Hj Soen An Noor. Usai seremonial tersebut lantas digelar acara ”potong kue”, kue diantaranya juga diberikan kepada Iwan Fals.
Tak berapa lama kemudian, acara beralih ke sesi makan siang bersama. Saat itulah, Iwan Fals & Band, tampil menghibur. Sebelum membuka dengan lagu pertamanya, Iwan sempat menyatakan kepada audiens, disamping bangga dia juga merasa senang, bisa berada diantara para pendiri bangsa yang masih tersisa. ”Rasanya kualat betul, di event Peringatan Hari Kemerdekaan, lantas melupakan jasa para pejuang bangsa,” urainya diiringi tepuk tangan dari hadirin.
Iwan membuka gelaran musiknya dengan tembang bernuansa nasionalisme, Untuk Para Pengabdi. Iwan seperti hendak menyerahkan lagu tersebut diterima bulat-bulat oleh audiens, layaknya sebuah kado.
Selanjutnya, juga didendangkan tembang yang bisa dikatakan sebagai gambaran kondisi ibu pertiwi sekarang ini. Menghanyutkan rasa para veteran RI ini, hingga tak satu pun yang berkomentar kecuali terpaku melihat penampilan Iwan, serta membatin bait demi bait syair lagu yang dikumandangkannya, Kebaya Merah.
Lagu itu cukup syahdu, hingga menguras energi penghayatan dari para audiens. Usai lagu tersebut, saat kondisi instrumental bertambah meningkat performanya, Iwan mulai melantunkan lagu ketiganya, Nyanyian Jiwa, para audiens sebagian ada yang bertepuk tangan memberi semangat kepada Iwan Fals, yang di beberapa bait lagunya, meski sembari duduk Iwan tampak ”dapat” momen histerianya.
Sebagian veteran bahkan sempat ada yang meneriakkan, ”Semangat Bung Iwan, juga sama seperti semangat perjuangan kami dulu,” urai seorang veteran.
Diiringi derai riuh tepuk tangan, audiens lagu bernuansa etnik yang asyik. Hio, jadi pembawa euforia para veteran yang hadir saat itu, tepuk tangan sudah berkumandang di seluruh ruangan, beberapa veteran bahkan mulai berjingkrak-jingkrak, ketika Iwan Fals mulai turun panggung melangkah ke arah audiens.
Lagu Hio, yang juga merupakan lagu terakhir, seperti benar-benar memberi aliran darah segar yang terus memuncak siang itu, di penghujung lagu, seorang veteran wanita lantas maju ke depan, menghentikan Iwan Fals yang memuncak histerianya.
Lantas wanita tersebut meminta Iwan Fals & Band membawakan lagu ”wajib” bagi mereka, para veteran RI dan istrinya. Selanjutnya Iwan Fals & Band berupaya juga mengiringi lagu jenaka dari para orang tua, yang kini justru semakin banyak yang berjoget di dekat panggung.
Siang itu, di depan panggung, Iwan tampak tersenyum-senyum melihat para orang tua pejuang yang bergembira lahir batin, mereka kembali energik dalam dendang yang tampaknya ingin betul mereka nyanyikan. Selamat Ulang Tahun, para pejuang.
Rabu, 26 Agustus 2009
Iwan Fals Ajak ’Goyang’ Para Veteran dan Istri Veteran
Iwan Fals: Dewa Dari Leuwinanggung
LEUWINANGGUNG adalah sebuah desa yang mirip kebanyakan dusun Pulau Jawa. Di sana ada rumah, sekolah, masjid, klinik, pohon dan bambu, madrasah ibtidaiyah, serta kantor lurah. Tetapi Leuwinanggung tak sama dengan desa-desa lain di Pulau Jawa karena di sana berumahlah seorang dewa .... namanya Iwan Fals.
Dewa ini tinggal di sebuah rumah besar. Tanahnya 6.000 meter persegi. Bagian terbesar dipakai untuk sebuah toko, pendopo, sebuah panggung terbuka, maupun kantor organisasi para penggemar si dewa bernama Oi. Kediaman pribadi dewa ini dilengkapi studio musik, garasi mobil (termasuk bus), rumah tinggal, serta kebun dengan rumput tercukur rapi.
Suatu sore September lalu, Iwan Fals menceritakan perkenalannya dengan Leuwinanggung pada saya. “Tahun 1982 saya cari tanah di sini, maksudnya untuk investasi saja,” katanya. Dia membeli tanah dari rezeki penjualan kaset Sarjana Muda yang diluncurkan 1981 dan terjual 300 ribu buah. Kisah berikutnya, dia sekali-sekali datang dari Jakarta bersama istrinya, mantan model Yos Rosana, menengok tanah mereka serta membawa pulang buah-buahan dari kebun.
Leuwinanggung menarik karena warganya rukun. Kalau ada acara perkawinan, jaipongan, atau kematian, semuanya kumpul. “Bila ada kematian, pengunjung yang datang justru dibayar. Diberi uang. Mereka bahkan sampai ngutang. Dalam hati saya pikir, ‘Gagah amat.’ Saya merasa kecil sekali. Kayak jawara gitu. Ada kegagahan di sini. Kalau mereka datang kenduri, duduk, pandangan ke depan, nggak ditegur ya diam saja. Kalau ada makan ya nggak rakus. Saya kan dulu nggak tahu. Ada makanan ya saya makan,” kata Iwan.
Kalau sedang tak sibuk, Iwan ikut salawatan tiap malam Jumat. “Bahasanya campur Arab, Sunda, Jawa. Ada 20 nomor salawatan lama yang saya kumpulkan.” Salawatan untuk sebuah desa macam Leuwinanggung, yang tanahnya, kapling demi kapling dibeli orang Jakarta, dan anak-anak mudanya mulai kekurangan pekerjaan, bisa jadi kekuatan untuk desa ini. “Kekuatan secara batin, secara spiritual,” kata Iwan.
Leuwinanggung sendiri terletak di daerah Bogor. Penduduk di sana sehari-hari bicara bahasa Sunda kasar. Orang butuh sekitar satu jam naik taksi dari Jakarta ke Leuwinanggung. Daerahnya terpencil. Selewat magrib, jalanan Leuwinanggung sepi dan jarang ada kendaraan. Ketika 16 Agustus lalu saya kemalaman di Leuwinanggung, lewat tengah malam saya jalan kaki empat kilometer untuk mendapatkan tukang ojek.
Ketika itu sekitar 600 penggemar Fals dan penduduk Leuwinanggung merayakan Agustusan bersama. Di sanalah saya menemukan banyak iwan fals. Mereka bergaya ala Fals dengan rambut gondrong, jins belel, memberi salam dan berteriak “Oi.” Suaranya dibuat dalam, agak serak. Di panggung, lagu-lagu Fals dibawakan bergantian, dari yang mirip aransemen aslinya, sehingga mendapat tepuk tangan, sampai yang ditertawakan penonton—dapat tepuk tangan juga.
Yang ditertawakan termasuk seorang pemuda 30-an tahun. Topinya merah, rambutnya gondrong sepundak, kulitnya gelap, giginya putih bersih, dan namanya Fajar Wijaya. Fajar seorang pengamen kelahiran Yogyakarta tapi lebih sering mengamen di Cilegon. “Saya terharu, menjerit, merasa ada panggilan hati. Dapat bimbingan dari lagunya itu,” katanya, mengacu lagu Di Mata Air Tak Ada Air Mata.
“Saya merasa kok ada hikmah tersendiri buat hidup saya. Saya merantau. (Lagu) ini nasihat dalam perjalanan hidup saya. Saya merenungkan jati diri saya,” kata Fajar, tersenyum sembari menarik-narik baju luriknya yang lusuh.
Iwan Fals memang bukan dewa dalam pengertian mitologi Yunani. Mungkin kedewaan Fals lebih dekat dengan fenomena musik 1960-an ketika dinding-dinding kota London dicorat-coret dengan kalimat, “Clapton is god (Clapton seorang dewa).” Mereka yang anonim itu memuja Eric Clapton, gitaris blues Yardbirds yang muncul di Inggris pada 1963. Majalah Rolling Stone menyebut Clapton menonjol karena konsisten menjaga standar mutu karyanya.
Orang yang malam Agustusan itu tak kalah sibuknya dengan Fajar adalah Slamet Setyabudi, koordinator keamanan Oi, yang sehari-hari bekerja sebagai tentara dengan pangkat sersan dua dari Pasukan Pengawal Presiden. Slamet badannya tegap, orangnya ramah. Dia anggota grup C yang bertugas mengawal tamu-tamu negara. Dia pernah mengawal Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad dan Presiden Timor Lorosa’e Xanana Gusmao. “Habis dinas saya ke sini,” katanya.
Slamet sesekali membawa rekan-rekannya ke Leuwinanggung untuk bantu keamanan. “Tentara yang penggemar Mas Iwan ini sebenarnya banyak,” katanya. Saya sempat berpikir nakal. Negara Indonesia membayari ratusan tentara untuk mengawal presiden dan wakil presiden. Mereka menerima gaji, sering pergi ke luar negeri, menerima pelatihan, mendapat seragam keren. Ternyata tentara yang sama mengawal Iwan Fals dengan gratis!
Malam itu lebih dari selusin pengurus Oi bercerita tentang Fals pada saya. Mereka cerita para penggemar yang terperangah ketika pertama kali menemui Fals. Banyak yang “gila” dengan memeluk, mencium tangan, dan menangisi Fals. Ada yang datang dari Flores, Riau, Jambi, dan sebagainya.
Malam itu saya berharap melihat ritual tersebut. Ratusan penggemar berharap sang dewa muncul. Namun Iwan tetap tinggal di rumah. Dia “meriang, kecapekan” dan dicurigai kena tipus. Dewa ini ternyata manusia biasa yang bisa sakit.
MALAM itu juga ada Muhamad Ma’mun. Seorang lelaki yang menarik. Penampilannya kalem, rambutnya panjang, dan terkadang dipanggil “Romo.” Ma’mun dulu pernah kerja di perusahaan properti tapi sekarang wiraswasta, memborong pekerjaan bangunan rumah. Ma’mun termasuk kenalan dekat Iwan Fals. Dia mengenal keluarga Fals sejak 1985 ketika mulai mondok di sebuah rumah di Jalan Barkah, Manggarai, Jakarta Pusat. Rumah itu milik Lies Suudiyah, seorang pekerja sosial dan ibunda Iwan.
Fals waktu itu sudah berkeluarga dan tinggal di Condet. “Panggilan rumahnya Tanto,” kata Ma’mun. Nama lengkapnya Virgiawan Listanto. “Galang masih kecil, belum sekolah, mungkin empat atau lima tahun. Cikal baru bisa jalan,” kata Ma’mun, mengacu pada anak Iwan: Galang Rambu Anarki dan Anisa Cikal Rambu Basae.
Entah kenapa keduanya cocok. Ma’mun usianya tiga tahun lebih tua dari Iwan. Ma’mun kelahiran Solo 1958 sedang Iwan Jakarta 1961. Mungkin mereka punya karakter dasar yang sama. Keduanya orang yang tak ragu mempertanyakan apapun. Saya terkesan dengan kerendahan hati mereka. Ketika mondok Ma’mun bekerja sebagai pegawai PT Pembangunan Jaya sementara Iwan sudah mulai dikenal sebagai penyanyi. Persahabatan mereka berlanjut hingga sekarang. Ma’mun termasuk orang yang diminta Iwan jadi pengurus Yayasan Orang Indonesia—yayasan sosial yang dibentuk dan diketuai Iwan sendiri.
Pengalaman berkesan Ma’mun terjadi ketika mereka lagi membaca harian sore Sinar Harapan yang memuat foto anggota-anggota parlemen ketiduran saat sidang. “Wah, ini perlu disentil To,” kata Ma’mun.
Iwan menyanding gitar dan Ma’mun membawa pena. Mereka bekerja mencari lirik dan musik. Semalaman mereka bekerja. Hasilnya, lagu Surat Untuk Wakil Rakyat yang dimasukkan dalam album Wakil Rakyat (1987). Ma’mun bangga dengan karya bersama ini apalagi ketika mahasiswa menjadikan lagu itu “lagu wajib” demonstrasi. Hingga kini Ma’mun rutin mendapatkan kiriman uang royalti dari Musica—produser dan distributor sebagian besar album Fals.
Ma’mun menilai temannya itu sebagai salah satu penyanyi kritik sosial terkemuka di Indonesia. Iwan menggunakan bahasa Indonesia, untuk bercerita tentang anak maling yang jadi maling, sunatan massal, pelacur, korupsi, nasib guru, dan sebagainya. Majalah Time Mei lalu menyebutnya “pahlawan Asia”—sejajar dengan Jackie Chan, Xanana Gusmao, dan Aung San Suu Kyi.
Kalau artis lain menjaga penampilan mereka lewat make up menyala, potongan rambut aneh, kostum unik, atau operasi plastik untuk memperindah diri, Iwan Fals tampil biasa. Beberapa kali saya menyaksikan Iwan memakai kaos Shanghai, kaos katun tipis dan lembut, yang harganya Rp 10 ribu selembar, saat konser. Orang toh tetap histeris melihatnya. Iwan mungkin punya kharisma.
Amir Husin Daulay, seorang aktivis mahasiswa 1980-an, menyebut Fals “nabi buat para pengikutnya.” Pada 1983 Daulay mengundang Fals mengamen ke kampus Akademi Ilmu Statistik. Iwan datang bersama Yos, membawa gitar, menyanyikan empat lagu, dan mendapat honor Rp 400 ribu. Pengalaman mengamen, yang dilakukannya bertahun-tahun, melatih Iwan menghadapi massa, dari pentas ke pentas, sehingga tahu bagaimana mengatur dirinya sendiri, bagaimana mengatur suara, mana yang disukai, mana yang tak disukai.
Persahabatan Ma’mun dan Iwan meningkat seiring karier mereka berdua. Antara Sarjana Muda hingga album Antara Aku, Kau, dan Bekas Pacarmu pada 1989, Iwan menghasilkan 13 album bersama Musica. Artinya, hampir satu album tiap enam bulan. Ini luar biasa.
Pada 1989 Iwan menerbitkan album Mata Dewa bersama Arena Indonesia Production (Airo). Mereka berniat mengadakan tur 100 kota. Konser perdana 26 Februari 1989 di Jakarta berjalan baik tapi buntutnya sebelas kendaraan bermotor dirusak. Mengapa kerusuhan terjadi? Sampai hari ini belum ada penjelasan rinci. Apa polisi kurang profesional? Atau Arena Indonesia Production kurang siap? Atau Fals mengeluarkan kalimat-kalimat yang memprovokasi massa?
Tapi tur jalan terus ke Pulau Sumatra. Sore hari 9 Maret 1989, Ma’mun dan Iwan Fals berada di sebuah hotel di Palembang. Keesokannya, Iwan bakal tampil di konser Mata Dewa. Sehabis makan malam, Ma’mun dan Iwan masuk kamar. Di depan cermin, mereka bicara soal persiapan konser.
“Gayane ngene yo? (Gayanya gini ya?)” tanya Iwan, sambil memegang gitar akustik.
“Ojo ndingkluk. Rodo ndegek (Jangan menunduk. Agak membusung),” kata Ma’mun. Iwan pun mengubah gayanya memegang gitar.
“Nek penyanyi rock ngene lho! (Kalau penyanyi rock begini lho!)” kata Ma’mun, mengambil gitar dan memberi contoh.
Mereka diskusi sebelum tidur. Keesokan harinya, Sofyan Ali, promotor Arena Indonesia Production, memberi kabar buruk. Polisi Palembang memberitahu ada radiogram dari markas polisi Jakarta. Mereka melarang Fals melanjutkan tur guna menghindari kekacauan. Padahal alat-alat sudah siap, panggung sudah siap. Rencana pertunjukan Palembang, Padang, Jambi, Medan, dan Banda Aceh dilarang. Iwan menangis. “Buat Iwan panggung adalah kehidupannya. Dia jadi hidup kalau di panggung,” kata Ma’mun.
Ironisnya, polisi melarang ketika belum ada penelitian tuntas mengapa keributan Jakarta terjadi. Di mana-mana kumpulan massa punya potensi ribut, dari massa sepak bola hingga musik. Ini tak berarti orang dilarang main bola atau nonton musik bukan? Bagaimana kebudayaan manusia akan maju kalau khawatir ribut? Bukankah polisi dibayar, bahkan negara diadakan, agar kebudayaan bisa maju, agar demokrasi bisa berkembang?
Lebih susah lagi. Di Indonesia, banyak orang malas berpikir, banyak wartawan malas melakukan reportase, dan lebih banyak lagi orang yang suka mengembangkan teori “pihak ketiga.” Di mana-mana ada teori ini. Buruh dilarang demonstrasi karena ditunggangi “pihak ketiga.” Mahasiswa bikin rusuh karena “pihak ketiga.” Saya mempelajari laporan berbagai suratkabar Indonesia dan melihat ada tiga teori “pihak ketiga” di balik pembredelan Mata Dewa.
“Pihak ketiga” pertama adalah “mafia Glodok” yang meminjam tangan polisi untuk mematahkan gaya distribusi kaset ala Sofyan Ali. “Mafia Glodok” adalah sebutan untuk industri rekaman yang berpusat di Glodok, Jakarta. Mereka kebanyakan dikelola pengusaha Indonesia etnik Tionghoa dan dianggap kurang menghargai seni, kurang menghargai musisi, tapi menguasai distribusi kaset. Spekulasi ini datang karena Iwan Fals pindah dari Musica ke tempat Sofyan Ali.
“Pihak ketiga” kedua adalah “industri rokok tertentu” yang meminjam tangan polisi guna menjegal pemasaran rokok Djarum—sponsor utama Mata Dewa. “Pihak ketiga” ketiga adalah pejabat-pejabat “tertentu” yang tak senang dengan kritik sosial Fals.
Tak ada bukti kuat untuk mendukung ketiga teori itu. Tapi cukup banyak alasan mengatakan ketiganya spekulatif. Iwan tak sepenuhnya pindah dari Musica karena ia juga mengerjakan lagu Kemesraan bersama artis Musica. “Saya merasa bersyukur punya partner Musica,” kata Iwan pada saya. Bisnis musik juga kecil sekali dibanding bisnis rokok. Raksasa industri rokok Djarum (Kudus), Sampoerna (Surabaya), Gudang Garam (Kediri), dan BAT (Jakarta) memang bersaing tapi juga bergabung dalam suatu kartel. Promosi lewat Fals memang penting tapi hanya sebagian kecil dari promosi Djarum. Keuntungan Djarum tahun lalu saja sebesar Rp 2,08 triliun atau hampir dua kali lipat omzet semua industri rekaman Indonesia. Siapa pejabat yang tak suka Fals? Setiawan Djody, rekanan bisnis Sofyan Ali dan salah satu pemegang saham PT Airo Swadaya Stupa, juga dekat dengan kalangan pejabat. Mengapa tak ada yang bicara dengan Djody?
Di Palembang tak ada verifikasi dan tawar-menawar. Kekuatan negara Orde Baru sangat kuat. Jangankan Iwan Fals. Protes dari hampir semua organisasi nirlaba di Indonesia, terhadap penggenangan desa-desa calon waduk Kedung Ombo bulan sebelumnya, juga diabaikan rezim Soeharto. Bank Dunia, yang mendanai Kedung Ombo, tak berbuat banyak melihat puluhan ribu petani mengungsi menyelamatkan harta dan nyawa. Iwan melawan. Dia jalan sendirian ke Padang, Jambi, dan lainnya, untuk memberitahu publik dia tak bisa memenuhi janji karena dilarang polisi. Ma’mun pulang ke Jakarta membawa pulang peralatan dengan delapan truk. “Pakaian saya bawa, kopernya saya bawa pulang. Dia cuma bawa pakaian satu.”
Di Jakarta, pelarangan itu juga memprihatinkan musisi lain. Sawung Jabo, musikus dari komunitas Sirkus Barock, menelepon Iwan untuk menyatakan simpati. Iwan pernah ikut pementasan Sirkus Barock pada 1986.
“Saya lupa persisnya. Suatu malam Iwan datang ke rumah saya di Pasar Minggu, yang notabene rumah tempat kami sering ngumpul. Iwan menawarkan untuk membuat album,” kata Jabo.
“Pada awalnya Iwan, kalau tidak salah mengusulkan nama Septiktank, tapi saya dan beberapa kawan menolaknya. Lalu kita mengusulkan nama yang kami pilih lewat lotere. Setelah diundi terpilihlah nama Swami, yang kebetulan nama itu usulan saya.” Ini plesetan dari kata “suami” karena mereka semua sudah beristeri.
Rata-rata awak Swami pernah terlibat Sirkus Barock. Baik pemain flute Naniel, pemain gitar bass Nanoe, pemain piano Tatas, apalagi drummer Inisisri yang banyak memberi warna musik Sirkus Barock. Hanya Jockie Suryoprayogo dan Totok Tewel agak baru di Sirkus Barock.
Mereka pun bekerja. Lagu paling spektakular berjudul Bento. Iwan sempat mengajak Ma’mun pergi ke studio tempat mixing dan minta komentar tentang Bento. Ma’mun berkomentar, “Wah, ini kayak virus. Ini cepet nyebarnya.”
“Iki piye Mas? (Ini bagaimana Mas?)” tanya Iwan.
“Apik. Virus kabeh (Bagus. Virus semua).”
Iwan dan kawan-kawan senang. Mereka makan nasi bungkus sembari mengobrol hingga pagi.
Bento diciptakan Iwan dan Naniel. Liriknya tentang seorang pengusaha serakah dan korup. Bisnisnya “menjagal apa saja” asal dia senang dan persetan orang susah. "Bento" sendiri artinya “goblok” dalam dialek Jawa Timuran. Ketika mengarang Bento, Iwan sempat memperhatikan seorang pengusaha, yang kaya dan kejam, punya rumah real estate. Karakter Bento dibuatnya dari pengusaha ini. “Tapi saya nggak perlu sebut (namanya). Saya nggak kenal pribadi, kenal jarak jauh,” katanya pada saya.
namaku Bento, rumah real estate
mobilku banyak, harta melimpah
orang memanggilku bos eksekutif
tokoh papan atas, atas segalanya, asyik
Sawung Jabo membantu aransemen lagu tersebut, “Saya memasukkan unsur tema lead accoustic,” katanya. Ketika beredar ke pasar, Swami memang ibarat virus. Lagu Bongkar juga jadi salah satu hit. Mula-mula media sempat bertanya-tanya apakah TVRI bersedia menyiarkan Swami. TVRI waktu itu satu-satunya stasiun televisi di Indonesia. TVRI sepenuhnya dikuasai rezim Soeharto. Ternyata tanpa ada keistimewaan, Bongkar muncul pada 13 Maret 1990. Ini mengejutkan banyak wartawan musik. Sekali lagi teori “pihak ketiga” tidak laku.
PADA Maret 1990 rombongan Swami datang ke Salatiga: Sawung Jabo, Iwan Fals, Naniel, Nanoe, Inisisri, penyair W.S. Rendra, pengusaha Setiawan Djody, dan sebagainya. Salatiga sebuah kota kecil di tengah Pulau Jawa yang pada 1980-an secara politik cukup dinamis.
Media banyak memperhatikan kedatangan mereka. Bagaimana tidak? Djody miliuner kapal tanker yang dekat dengan keluarga Soeharto. Rendra seorang penyair, mungkin yang terbaik di Indonesia, yang beberapa kali masuk tahanan Orde Baru. Jabo pemusik yang sering bikin eksperimen bermutu. Iwan sendiri dianggap makin memberontak sejak Palembang. Sebuah kolaborasi unik.
Orang yang berperan mendatangkan Swami ke Salatiga adalah Endi Agus Riyono A.S. atau biasa disingkat Endi Aras—seorang mantan aktivis mahasiswa Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga dan wartawan majalah Film di Jakarta. Endi orangnya ramah, rambut bergelombang sebahu, murah senyum, pandai bergaul, suka musik, dan suka ikut kepanduan. Juli lalu ketika saya mewawancarai Endi, penampilannya tak banyak berubah, walau perutnya agak buncit, sudah berkeluarga, serta memiliki perusahaan sendiri Matamata Communications yang bergerak di bidang public relation dan event organizer.
Endi bertemu Iwan pada 1985 ketika ia diutus rekan-rekannya menghubungi Iwan agar menyanyi dan ceramah di kampus Satya Wacana. “Aku disuruh cari ke Jakarta,” kata Endi. Mulanya Endi cari di Musica tapi tak ada dan ketemunya di Condet. Iwan keberatan datang ke Salatiga, “Aku nggak bisa ngomong,” kata Iwan.
Iwan merekomendasikan penyanyi balada lain. Endi penasaran. Endi pengagum Fals dan punya koleksi lengkap album Fals. Endi pun menulis surat kepada Iwan dan dibalas pakai tulisan tangan. “Apa yang diomongin sama yang dipikir, lebih cepat yang dipikirin,” kata Endi, menerangkan keengganan Iwan tampil pada fora akademik.
Kejadian itu membuka perkawanan Endi dan Iwan. Pada 1989 Endi bekerja di majalah Film. Sebagai wartawan ia menulis soal Iwan. Ini praktik biasa di kalangan wartawan musik Indonesia—menjalin pertemanan dengan sumber-sumber mereka. Endi dan Iwan sering telepon-teleponan. “Ndi kamu ke sini,” ujar Iwan. Bila Endi dolan ke tempat Iwan, mereka bisa mengobrol dari siang sampai malam. Mereka juga sering naik mobil, mengobrol, mengelilingi jalan tol. “Iwan itu senang kalau ada teman ngobrol,” kata Endi.
Endi membawakan buku-buku untuk Iwan. Misalnya Catatan Harian Seorang Demonstran tentang Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa 1960-an yang ikut mengatur demonstrasi anti-Presiden Soekarno, yang meninggal keracunan gas di Gunung Semeru pada 1969.
Endi juga memberikan selebaran-selebaran gelap. Iwan tertarik karena ia simpati pada orang tertindas. Pada 1980-an ketidakpuasan warga Indonesia terhadap rezim Soeharto makin tinggi. Anak-anak Soeharto beranjak dewasa dan terlibat dalam bisnis, dari monopoli cengkeh hingga jalan tol. Militer juga makin kuat mengontrol kehidupan warga walau di sana-sini ada gesekan internal antara militer hijau (muslim) dan militer merah putih (nasionalis).
Di Salatiga Endi sering menginap di kantor Yayasan Geni—sebuah organisasi nirlaba yang banyak terlibat gerakan protes. Satya Wacana 1980-an juga kampus yang memberikan tempat untuk pemikiran kritis, antara lain karena pengaruh dosen-dosen liberal macam Arief Budiman, seorang doktor lulusan Universitas Harvard, kakak kandung Soe Hok Gie, yang getol bicara Marxisme, negara, masyarakat, demokrasi, dan acapkali diwawancarai media. “Iwan ngefans sama Arief Budiman,” kata Endi.
Budiman dekat dengan mahasiswa, antara lain dengan Stanley, panggilan seorang aktivis mahasiwa yang nama lengkapnya Yosep Adi Prasetyo. Stanley kawan dekat Endi. Budiman sering mengajak Stanley, Endi, dan mahasiswa lain ikut diskusi. Dari Stanley pula Endi menerima selebaran gelap dan buku. Endi menyampaikannya pada Fals.
Ketika Swami mengeluarkan album, Endi menawari Swami pergi ke Salatiga. Pucuk dicinta ulam tiba. “Biaya dari Djody semua, panitia hanya ngurus tempat. Kita agendakan ngobrol-ngobrol di rumah Arief Budiman,” kata Endi.
Mereka datang lebih awal dan mengadakan dua diskusi. Diskusi agak besaran diadakan di sebuah guest house milik Satya Wacana, sebuah rumah kolonial peninggalan Belanda, yang luas dan megah. Rumah itu dipakai Djody dan peragawati Regina Sandi Harun, istri muda Djody. Diskusi agak kecil diadakan di rumah Budiman sembari makan malam. Rumah ini terletak dekat sungai, dibangun dengan konsep terbuka, menggunakan bambu, dan dijaga beberapa ekor angsa. Budiman mengundang cendekiawan setempat, antara lain pendeta Broto Semedi, Stanley, dan beberapa mahasiswa lain untuk diskusi dengan rombongan Jakarta. Saya kebetulan ikut diundang.
Kami bicara santai, bersila, duduk dengan tikar. Arief Budiman memancing Iwan Fals untuk masuk ke dunia aktivis. “Seniman harus tahu politik,” katanya. Budiman cerita soal Victor Jara dari Chile, pendukung Presiden Salvador Allende, yang terbunuh ketika Jenderal Augusto Pinochet mengudeta pemerintahan sosialis Allende pada 1973. Budiman mengerti Chile dengan baik karena tesisnya di Universitas Harvard tentang kegagalan Allende memakai sosialisme. Victor Jara seorang pemusik popular mirip Fals. Lagu-lagu Jara penuh kritik sosial. Jara juga main gitar akustik. Jara mati bersama dengan Allende.
Saya punya kesan Iwan enggan atau malu menanggapi Budiman. Iwan lebih banyak diam. W.S. Rendra, teman lama Budiman, lebih banyak bicara dengan gayanya yang teatrikal. Rendra khusus memperkenalkan kami kepada Djody yang disebutnya sebagai seorang pengusaha-cum-seniman. Rendra mendominasi pembicaraan malam itu dengan sekali-sekali ditanggapi Djody, dan Sawung Jabo. Leila Ch. Budiman, istri Arief, jatuh hati pada Iwan yang disebutnya “anak manis.”
Salah satu isu sampingan yang mereka diskusikan adalah kejengkelan Rendra dan kawan-kawan terhadap industri rokok. Mereka jengkel pada industri ini—yang sering jadi sponsor utama konser-konser musik—karena seenaknya menempelkan pesan sponsor di panggung. Logo rokok dipasang di pusat panggung. Mereka memaki-maki industri rokok karena mengganggu estetika. Mereka mengatakan sulit untuk tak menerima sponsor rokok karena kontribusi mereka besar tapi jangan begitu caranya.
Ironisnya, mereka kurang tertarik mendiskusikan dampak rokok pada anak-anak muda penggemar mereka. Mungkin karena mereka sendiri perokok berat. Iwan juga perokok. Suratkabar-suratkabar setempat memberitakan protes ini. Diam-diam beberapa mahasiswa melihat para tamu Jakarta ini, bukan saja mengisap rokok, tapi juga ganja.
Saya tak mau menghakimi. Beberapa teman saya juga menggunakan ganja dan biasa-biasa saja. Saya kira isu ganja bukan soal benar atau salah. Ganja mirip dengan rokok. Ia tak mematikan. Ganja berbeda dengan obat-obatan kimiawi macam narkotik, esctasy, atau putauw yang bisa berakibat fatal kalau kelebihan.
Iwan mengakui memakai ganja sejak Palembang. “Habis gimana? Murah, bisa beli di mana-mana, enak?” Jabo tak mau berkomentar soal ganja. Dalam lingkungan Swami, mengisap ganja mendapat semacam legitimasi karena dianggap biasa. Djody dan Rendra juga saya lihat mencoba daun ganja yang dilinting kecil.
“Tadinya mau kayak (penyanyi reggae) Bob Marley, punya kebun ganja sendiri. Nyanyi, ganja, nyanyi, ganja. Tapi kan dilarang hukum, (dilarang) agama. Dalam hidup ini, orang yang nggak mabuk lebih banyak dari yang mabuk,” kata Iwan.
Kresnowati, seorang mahasiswa Satya Wacana dan kenalan Endi, ikut jadi panitia. Wati tak melihat ganja tapi terkejut menyaksikan awak Swami, termasuk Iwan, menggoda dan menjahili mahasiswi. “Ya … kok gini?” pikirnya.
Wati menghibur diri dengan berpendapat Iwan laki-laki biasa. “Manusia biasa yang punya talenta luar biasa.”
Menurut kawan-kawannya, periode ini cukup liar untuk Iwan Fals. Yos Rosana memutuskan pakai jilbab. “Dia bilang panggilan sebagai seorang muslim. Dia ingin memberikan contoh pada Iwan dan anak-anak untuk lebih ingat agama,” kata Fidiana, istri pemain kibor Iwang Noorsaid, pasangan yang berteman dengan keluarga Iwan. Yos juga agak khawatir pada pengaruh W.S. Rendra, orang yang dianggap guru oleh Iwan, tapi punya reputasi agak longgar dalam urusan perempuan. Rendra menikah tiga kali. Djody juga baru menikahi Sandi Harun. “Iwan kan good looking!” kata Wati.
Malam yang dinanti-nantikan pun datang. Swami main di Lapangan Pancasila Salatiga. Malam itu saya ikut menonton dan ikut bernyanyi, “Bento, bento, bento.” Saya merasakan adanya semangat perlawanan di sana dan bersyukur Indonesia punya musisi macam mereka. Endi mungkin warga Salatiga yang paling bahagia malam itu.
SAMBUTAN hangat membuat Swami plus Setiawan Djody tertarik maju lagi. Mereka mendirikan kelompok baru dengan nama Kantata Takwa. Perbedaan personalia Swami dan Kantata Takwa terletak pada W.S. Rendra dan Djody.
Djody jadi bos sekaligus pemain. Rendra memakai syair-syairnya, termasuk puisi "Kesaksian" yang terkenal itu, untuk dilagukan Kantata Takwa. “Rendra tidak sekadar membuat lirik, tapi lebih dari itu. Kadang dia sebagai alat kontrol pada proses kreatif kami. Rendra pulalah yang memberikan judul ‘Kantata Takwa.’ Rendra ikut memberi warna dan bentuk yang jelas pada Kantata Takwa. Terutama pada saat pementasannya,” kata Sawung Jabo.
Djody mengeluarkan uang tapi agak tersinggung kalau dianggap keberadaannya semata-mata karena duit. Pada 1990, Djody pernah mempersilakan saya datang ke rumahnya di daerah Kebagusan, Jakarta Timur, melihat latihan Kantata Takwa. Djody cerita masa lalunya di Solo ketika jadi gitaris sebuah kelompok musik rock. Orangnya flamboyan, rambutnya tersisir rapi, kulitnya bersih, pakaiannya bagus. Rumahnya besar sekali. Besar sekali. Ruang keluarga, yang menghadap kolam renang, diubah jadi tempat latihan band. Di sana ada lukisan Djody besar sekali. Saya menduga karya maestro Basuki Abdullah.
Djody cerita bisnisnya dengan Sigit Harjojudanto, putra sulung Soeharto, maupun Eka Widjaja dari kelompok Sinar Mas. Dia juga cerita pergaulannya dengan Jenderal Benny Moerdani, mungkin orang terkuat kedua di Indonesia sesudah Presiden Soeharto waktu itu. Moerdani dinilainya pintar dan tahu seni. Tak ada rasa takut dalam cerita Djody. Dia cerita isu yang agak pribadi tentang Moerdani. Bisnis adalah bisnis. Seni adalah seni. Djody mencintai keduanya.
Namun tak semua orang suka dengan kolaborasi ini. Beberapa penggemar Fals dan wartawan musik menilai periode ini keiwanfalsan Iwan menurun. Ada yang menilai Iwan lebih vulgar. Teori “pihak ketiga” lagi-lagi dipakai. Ada yang menyalahkan Sawung Jabo. Dulu lirik Iwan lebih puitis. “Setelah gabung dengan Jabo lebih keras, Jabo kan suka main hantam?” kata fotografer Idon Haryana, menirukan analisis wartawan tabloid Detak A.S. Laksana. Banyak juga yang curiga pada W.S. Rendra. Lebih banyak lagi yang curiga pada Djody.
Muhamad Ma’mun mengatakan, “Secara eksplisit saya sampaikan, ‘Saya nggak suka sama Mas Djody.’ Saya sampaikan pada Iwan. Sampai beberapa tahun, saya masih ngomong nggak suka. Saya nggak pernah sekali pun ketemu Djody. Diajak ketemu Djody tapi nggak mau.”
Menurut Sawung Jabo, kalau Djody diragukan integritasnya, Iwan pun tak mau membela atau menjelaskan, karena dia sendiri “tidak tahu.” “Intinya kami bersama telah berbuat sesuatu, silahkan masyarakat menilainya sendiri. Apakah yang kita kerjakan bersama itu ada gunanya atau tidak?”
Ma’mun menganggap musik Kantata Takwa, yang memakai koor, synthesizer, dan kecanggihan lain, tak cocok untuk Iwan. “Ini bukan kemajuan. Yang dikenal orang di gang-gang, di pasar-pasar, ya lagu-lagu yang dulu. Karya besar nggak harus yang susah dibawakannya.”
Ma’mun mengacu pada lagu-lagu Koes Plus dan The Beatles. Dia menyebut lagu Imagine karya John Lennon. Aransemennya sederhana tapi nilainya tinggi. Ma’mun berpendapat karya-karya abadi aransemennya sederhana dan mudah dimainkan orang.
Rekaman album Kantata Takwa jalan lancar. Menurut Jabo, Rendra terlibat mulai dari gagasan awal. “Saya baru terlibat masuk di pertengahan proses pembuatan materi lagu, sebelum dimulainya proses rekaman di Gin Studio.” Lagu andalan mereka berjudul Kantata Takwa yang dibuka dengan dzikir. Albumnya diedarkan awal 1990. Sampulnya bergambar Djody, Rendra, Iwan, Jabo, dan Jockie Suryoprayogo. Ada satu kalimat berbunyi, “Setiawan Djody mempersembahkan Kantata Takwa.” Ini menimbulkan kesan album ini “hanya” persembahan Djody—bukan Rendra, bukan Iwan, bukan Jabo, bukan Suryoprayogo. Saya kira pilihan ini kurang bijak.
Pertunjukan Kantata Takwa di stadiun Senayan pada 23 Juni 1990 termasuk salah satu konser musik terbesar yang pernah diadakan di Indonesia. Media memberi perkiraan yang berbeda-beda. Ada yang memperkirakan penontonnya 100 ribu orang tapi ada juga yang 150 ribu. Sulit untuk tahu mana yang lebih akurat karena metode perhitungannya tak jelas Kapasitas stadiun Senayan sendiri sekitar 90 ribu.
Tapi berapa pun jumlahnya, penontonnya memang banyak sekali. Mereka memakai lampu laser, bom asap, sound system raksasa, panggung spektakular. Atmakusumah Astraatmadja, mantan redaktur harian Indonesia Raya dan kini ketua Dewan Pers, termasuk salah satu penonton. Putra sulungnya seorang pemanjat tebing yang ikut dalam tim yang bertugas menyelamatkan pemain Kantata Takwa bila terjadi kerusuhan. Mereka memasang tali-temali dan bisa meluncur ke tengah panggung bila ada keributan.
Astraatmadja gelisah melihat massa sebanyak itu. Lelaki tua yang mendampingi empat remaja ini masuk ke Senayan dengan bantuan polisi. “Itu sebuah perlawanan kultural, bukan saja oleh Iwan dan kawan-kawan, tapi juga para penonton,” kata Astraatmadja. Dia menilai perlu keberanian luar biasa untuk menyanyikan Bento.
Setiawan Djody, si pengusaha kapal tanker, tampil main gitar listrik, seraya memekik-mekik. “Saya heran kok berani-beraninya Setiawan Djody itu,” kata Astraatmadja.
Endi Aras mengatakan Djody membiayai semuanya Rp 1 miliar lebih. Ma’mun menanggapinya dengan lebih hati-hati. Iwan dianggap bergaul dengan orang-orang yang terlalu liberal untuk ukuran keluarganya. Selesai Kantata Takwa, Iwan melanjutkan Swami II yang beredar 1991. Album ini kurang sukses. Sambutan jauh lebih kecil dari Swami. “Saya sudah bilang pada Iwan, ‘Jangan kamu ulangi lagi,’” kata Ma’mun.
Endi Aras mulai masuk lingkaran kecil Iwan Fals pada 1994 ketika ia diminta jadi manajer Iwan. Tanggung jawab Endi serabutan dan dasarnya pertemanan. Kalau ada permintaan konser, Endi yang berhubungan dengan panitia, mengurus pembayaran, menyewa alat, dan sebagainya. Honor Iwan sekali pertunjukan Rp 6 juta. Endi tak menerima bayaran rutin. Kalau ada pekerjaan dia diberi “uang transport.”
Endi juga jadi manajer produksi album Hijau. Di sini Iwan memakai dua pemain kibor: Iwang Noorsaid dan Bagoes A.A. Mereka banyak diskusi agar album ini secara artistik bagus. Lagu-lagu tak diberi judul. Hanya Lagu 1, Lagu 2, Lagu 3, Lagu 4. Endi dan pemusik lain kurang setuju tapi semuanya kalah argumentasi dengan Iwan. “Biar agak lain saja,” kata Iwan.
Endi tambah stres karena produser Handoko dari Harpa Record dan Adi Nugroho dari Prosound bersaing membeli master album Hijau. Mereka tawar-menawar. Endi lapor ke Iwan soal tawar-menawar ini. Iwan malah tersinggung albumnya ditawar-tawar. “Wah Ndi, masternya dibakar saja,” kata Iwan. Gantian Endi yang jengkel karena merasa kurang dihargai. Endi dua hari sekali menemui Iwan, yang sudah pindah ke Cipanas, dua jam naik mobil dari Jakarta. Mereka akhirnya menerima harga Prosound Rp 365 juta termasuk sampul dan video clip. Endi mendapat Rp 10 juta dari anggaran Rp 65 juta untuk biaya produksi.
Sampul kaset dibikin disainer Dick Doang dominan hijau dengan menggunakan foto beberapa anak kecil bermain lompat-lompatan. Iwan tak mau namanya ditonjolkan. Dia tak mau sampul ada fotonya. Menurut Endi, Iwan berpendapat status mereka sama, delapan orang pemusik. Iwan mau nama Iwang Noorsaid, Bagoes A.A., Cok Rampal, Jalu, Ari Ayunir, Heiri Buchaeri, Jerry Soedianto, dan Iwan Fals dicetak semuanya pada sampul. Dick Doang, juga seorang penggemar Iwan, setuju usul itu. Konsekuensinya, nama-nama musisi dicetak dengan font kecil. Endi kurang setuju dan khawatir kasetnya kurang laku.
Saya tanya pada Endi, kalau Iwan mau setara, bagaimana pembagian honornya? Endi tersenyum dan bilang Iwan “curang” karena honor musisi Rp 300 juta dibagi dua: 40 persen Iwan dan 60 persen tujuh musisi sisanya. Artinya, Iwan dapat Rp 120 juta sedang lainnya rata-rata dapat Rp 25 juta.
Selama mengerjakan Hijau, Iwan berhenti mengganja, berhenti merokok, dan mulai salat. Hari-hari di Cipanas dipakai untuk “rehabilitasi.” Iwan tahu membuatnya tak bisa “panjang nyanyiannya.” Tubuhnya bentol-bentol, emosinya labil. Endi mengatakan ini periode “komunitas bersih” karena beberapa pemain, termasuk Noorsaid dan Heiri Buchaeri, rajin salat dan hidupnya sederhana. Kresnowati mengatakan ada juga musisi Hijau yang “pemakai berat ganja.”
Perubahan Iwan juga mengubah Karno, asistennya yang setia, yang biasa membantu Iwan untuk urusan pribadi, mulai mengatur instrumen musik hingga menyiapkan lintingan ganja. “Karno lebih seniman dari Iwan. Dia nggak menikah, mungkin karena nggak dapat-dapat, dan penggemar Iwan,” kata Wati.
Hijau diluncurkan 1992. Tak terlalu meledak di pasar. Endi kecewa, merasa kurang dihargai. Endi mundur dari pekerjaannya. “Endi punya kekaguman yang sangat pada Iwan. Tapi juga kekecewaan. Ngatur dia itu ruwet,” kata Kresnowati.
KETIKA Galang lahir pada 1 Januari 1982 si bapak, yang perasaannya campur-aduk karena pertama kali merasakan diri jadi ayah—merasa harus bertanggung jawab, merasa mencintai, heran, bahagia, bangga punya keturunan dan sebagainya—menciptakan lagu berjudul Galang Rambu Anarki. Lagunya cukup terkenal dan masuk album Opini (1982).
Galang tumbuh jadi anak cerdas. Endi Aras sering main tembak-tembakan dengan Galang. Muhamad Ma’mun punya karakter rekaan yang sering diceritakannya pada Galang. Namanya “Gringgrong”—seorang jagoan “kayak Tarzan” yang bisa mengalahkan harimau, naik kuda, dan mengalahkan musuh. Tiap kali Ma’mun datang menginap, cerita Gringgong ditagih Galang. Di Condet hanya ada dua kamar, “Kalau saya nginep, Galang tidur sama bapaknya,” kata Ma’mun.
Ketika beranjak remaja, Ma’mun melihat Galang badannya bagus, berbentuk. Galang bukan tipe anak hura-hura. Kalau minta uang paling buat bayar taksi pergi ke sekolah. “Untuk beli-beli dia nggak punya uang,” kata Iwan. Galang juga besar tekadnya. Suatu saat Galang, yang belum bisa menyetir mobil dan tak punya surat izin mengemudi, ingin bisa mengendarai mobil. Solusinya? Galang mengendarai mobil sekaligus dari Jakarta ke Pulau Bali!
Tapi kekerasan Galang suatu hari membuat Iwan angkat tangan. Dia datang ke Ma’mun, “Mas gimana nih, Galang nggak mau sekolah lagi?”
“Terus maunya apa?”
“Embuh, main musik atau buka bengkel.”
Galang memutuskan keluar dari SMP Pembangunan Jaya di Bintaro, yang terletak dekat rumah dan termasuk salah satu sekolah mahal di Jakarta. Iwan sering pindah rumah dan waktu itu tinggal di Bintaro. Hingga Leuwinanggung ia sudah pindah rumah 12 kali. Usia Galang 14 tahun dan sedang memproduksi rekamannya yang pertama bersama kelompok Bunga. Iwan tak bisa berbuat banyak dan membiarkan Galang putus sekolah.
Galang pernah juga kabur meninggalkan rumah. Dalam pelarian, menurut Iwan, Galang melihat poster dan foto papanya di mana-mana. “Dia merasa diawasi,” kata Iwan. Galang merasa tak bisa lari dan kembali ke rumah.
Suatu saat Iwan curiga. Iwan bertanya, “Lang, lu pakai ya?”
“Mau apa tahu Pa?” kata Galang, ditirukan Iwan.
Iwan menganggap dirinya sudah insyaf. Kok Galang yang memakai? Iwan merasa Galang meniru papanya. Mula-mula rokok lalu obat. Endi Aras mengatakan Iwan agak teledor kalau menyimpan ganja atau merokok.
Galang menerangkan dia hanya mencoba. Rasanya pusing serta teler. “Ya udah, kalau sudah tahu ya udah,” kata Iwan.
Kebetulan Galang punya pacar, seorang cewek gaul bernama Inne Febrianti, yang juga keberatan Galang memakai obat-obatan. Inne mendorong Galang tak memakai obat-obatan.
“Dia bukan pemakai. Dia sangat cinta pada keluarganya. Kontrol diri sangat kuat,” kata Iwan.
Kamis malam 24 April 1997 sekitar pukul 11:00 malam Galang pulang ke rumah, setelah latihan main band. Dia makan lalu pamit pada papanya mau tidur. Mamanya lagi tak enak badan. Iwan masih mendengar Galang telepon-teleponan.
Subuh sekitar 4:30 Kelly Bayu Saputra, sepupu Galang yang tinggal di sana, mau mengambil sisir di kamar Galang. Kelly memanggil Galang tapi tak bangun. Kelly mendekati Galang dan menggoyang-goyangkan badannya. Lemas. Kelly kaget. Dia mengetuk kamar Yos. Yos bangun dan menemukan Galang badannya dingin. “Saya turun ke bawah, panggil Iwan,” kata Yos.
Keluarga heboh. Iwan terpukul sekali. Pagi itu saudara-saudaranya datang. Mereka menghubungi semua kerabat dan teman. Leo Listianto, adik Iwan, menelepon Ma’mun di Karawaci. “Saya masih tidur, antara percaya, tidak percaya,” kata Ma’mun.
Sepuluh menit kemudian, Ma’mun ditelepon Dyah Retno Wulan, adiknya Leo, biasa dipanggil Lala, juga memberitahu Galang meninggal. “Saya bengong,” kata Ma’mun. Dia segera menuju Bintaro.
Fidiana menerima telepon dari Ari Ayunir. Fidiana membangunkan Iwang Noorsaid, suaminya, “Wang, ini ada berita duka … Galang meninggal.” Mereka agak tak percaya karena beberapa hari sebelumnya pasangan ini bertamu ke Bintaro dan melihat Galang mondar-mandir. Mereka mencoba telepon ke Bintaro tapi nada sibuk. Mereka menelepon Herri Buchaeri, Endi Aras, dan beberapa rekan lain sebelum naik mobil ke Bintaro.
Endi Aras mengatakan, “Pagi-pagi aku dapat kabar. Iwang Noorsaid yang telepon.” Endi sampai di Bintaro sekitar pukul 5:30. “Aku ikut memandikan (jasad Galang),” kata Endi.
Ketika Iwan memandikan jasad anaknya, dia berujar berkali-kali, “Galang, kamu sudah selesai, papa yang belum ... Lang, kamu sudah selesai, papa yang belum ..…” Kalimat itu diucapkan Iwan berkali-kali.
Ma’mun dirangkul Iwan. “Jagain Mas, jagain anak-anak Mas,” kata Iwan, seakan-akan hendak mengatakan ia sendiri kurang menjaga anaknya dengan baik.
“Yos histeris, menangis ketika saya peluk. ‘Aduh, anak saya sudah meninggal mendahului saya,’” kata Fidiana. Iwan tak banyak bicara, menunduk, menangis, dan hanya bilang “terima kasih” kepada tamu-tamu. “Kepada kita dia nggak ngomong sama sekali,” kata Fidiana.
Galang dimakamkan di mana? Ada usul pemakaman Tanah Kusir dekat Bintaro. Iwan emosional, ingin memakamkan Galang di rumahnya. Bagaimana aturannya? Iwan pun memutuskan menelepon kyai Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dari Nahdlatul Ulama. Saat itu Gus Dur belum jadi presiden Indonesia. Iwan menganggap Gus Dur “guru mengaji” yang terbuka, tempat orang bertanya. Gus Dur mengerti hukum Islam maupun hukum pemerintahan.
Gus Dur dalam telepon menjelaskan dalam aturan Islam diperbolehkan memakamkan jenazah di rumah. Pemakaman bergantung wasiat almarhum atau keinginan keluarga. Tapi di Jakarta tak bisa memakamkan orang di rumah sendiri karena keterbatasan lahan. “Di Jakarta nggak boleh … kalau Bogor boleh.”
Kata “Bogor” itu mengingatkan Iwan pada Leuwinanggung. Keluarga pun memutuskan Galang dimakamkan di Leuwinanggung.
Menurut Harun Zakaria, seorang tetangga Iwan di Leuwinanggung, yang juga menjaga kebun Iwan, dia dihubungi Lies Suudiyah, ibunda Iwan. “Bu Lies datang ke sini. Dia bilang, ‘Cucunda meninggal. Tolong di sini kuburannya,” kata Harun.
Jenazah disemayamkan dulu di masjid Bintaro. Sekitar 2.000 jamaah salat Jumat di masjid itu ikut menyembahyangkan Galang. Banyak seniman, tetangga, kenalan Iwan, dan Yos datang menyampaikan duka. Setiawan Djody, W.S. Rendra, Ayu Ayunir, Jalu, Totok Tewel, Jockie Suryoprayogo, juga tampak di sana. Spekulasi wartawan maupun pengunjung memunculkan gosip bahwa dada Galang kelihatan biru. Galang digosipkan overdosis. Ini merambat ke mana-mana karena tubuh Galang kurus ceking.
Orang sebenarnya tak tahu persis penyebab kematian Galang karena tak ada otopsi terhadap jenazahnya. Kawan-kawan Iwan memilih diam. Mereka merasa tak nyaman mengecek spekulasi overdosis kepada orangtua yang berduka. Kresnowati pernah diberitahu Yos bahwa penyebab kematian Galang penyakit asma. Fidiana mengatakan beberapa hari sebelum kematian, Yos mengatakan Galang lagi sakit-sakitan. Iwan mengatakan pada saya, fisik Galang “agak lemah” dan “Galang lemah di pencernaan.”
Namun Iwan dan Ma’mun menyangkal spekulasi overdosis. Galang memang mencoba obat-obatan tapi tak serius. Iwan mengatakan dua bulan sebelum meninggal, Galang “sudah bersih.” Iwan percaya anaknya punya kontrol diri.
Menurut teman-temannya, Yos menilai petualangan Galang merupakan protes terhadap Iwan. Galang butuh perhatian papanya tapi Iwan terlalu sibuk. Yos di mata mereka lebih tabah menghadapi kematian Galang. Iwan lebih terpukul dan menyesal. “Setelah Galang meninggal, dia sudah nggak nggelek-nggelek. Salatnya sudah rajin,” kata Endi Aras.
September lalu di keheningan Leuwinanggung, saya tanyakan pada Iwan bagaimana perasaannya sekarang, lima tahun setelah kematian Galang.
Dia menggeser posisi duduknya dan mengatakan, “Sampai sekarang masih ngimpi, terutama zaman manis-manisnya ketika Galang masih kecil.”
Iwan mengatakan kalau bercermin pada masa-masa ketika Galang masih ada, dia melihat kekurangan-kekurangannya sebagai suami maupun ayah. “(Kematian Galang) membuat saya menghargai fungsi bapak, fungsi suami. Kalau saya dulu bisa lebih bersahabat, jadi gurunya, jadi lawannya, mungkin akan lain ceritanya.”
“Tapi ini semua nggak bisa dibalik.”
Diambil hikmahnya, Iwan bercerita bahwa kematian Galang jadi “api” buat dirinya dalam bermusik.
“Dia pilih musik, bahkan dia keluar sekolah. Dia mau menikah waktu itu. Dia percaya musik bisa menghidupi istrinya. Masakan saya nggak berani … rasanya di sini senep (sesak) … hoooaah … dari sini senep … apalagi kalau kenangan-kenangan itu datang,” kata Iwan. Dia tiba-tiba berteriak, "Hoooooooaaaaah ...."
Saya mengalihkan pandangan mata saya dari mata Iwan. Dia menelungkupkan kedua tangannya di dada. Kami diam sejenak. Saya minta maaf karena mengingatkannya pada kematian Galang. Iwan bilang tak apa-apa. “Kadang-kadang kalau lagi sedih … senep. Tapi kalau lagi senang ya lupa lagi.”
ROLLY Muarif termasuk satu dari sekian orang yang sering menemani Iwan Fals pasca-kematian Galang. Rolly seorang musikus kelahiran Gorontalo, pernah menghibur penumpang kapal Kambuna jurusan Manado-Jakarta. Kalau menganggur, Rolly menjaga toko spare part di Kranggan, dekat Leuwinanggung.
Iwan sering mengundang Rolly ke Leuwinanggung. Iwan suka melukis dan mengobrol dekat makam Galang. “Sering curhat sama saya soal Galang karena cuma ada saya doang,” kata Rolly. Dia juga menemani Iwan main catur dan mengobrol hingga subuh. Suatu saat Iwan bilang, “Kalau untuk anak (kehilangan) ke orang tua, bisa dimaklumi, tapi kalau orang tua ke anak, itu berat.”
“Saya memahami saja,” kata Rolly pada saya.
Iwan banyak melukis, kadang-kadang di rumah Leuwinanggung lukisannya dipajang, dilihat dari jauh. Rekaman album baru ditunda sejak kematian Galang. “Saya disuruh memandang, kadang dibalik,” kata Harun Zakaria, tetangga Iwan, yang juga sering mengobrol pasca-kematian Galang. Iwan juga memenuhi undangan dari masyarakat Leuwinanggung, acara jaipongan, kematian, pengajian, kenduri, perkawinan, salawatan. “Ke mana-mana ajak saya,” kata Harun.
Iwan juga bermain sepak bola dan membayar seorang pelatih untuk melatih anak-anak Leuwinanggung. Harun cerita Iwan menyumbang renovasi mushola dekat rumah mereka, “Karpetnya disumbang Kak Iwan.” Iwan juga melatih karate. Dia membuka dojo dan pesertanya sampai 200 orang. “Saya latih sendiri,” katanya.
Ketika krisis moneter menghantam ekonomi Indonesia, Iwan Fals sempat mencoba bikin lagu untuk menggugah semangat orang berusaha. Karya ini terhenti ketika demonstrasi-demonstrasi anti-Soeharto makin keras. Pada Mei 1998 Soeharto mundur dari kekuasaannya dan Indonesia memasuki era demokratisasi. Perubahan besar-besaran di ambang pintu. Iwan pun melihat saatnya ia mengambil langkah baru.
Iwan Fals melihat banyak penggemarnya kurang punya dasar ekonomi yang kuat. Iwan ingin “memberdayakan” mereka. Iwan pun mendirikan Yayasan Orang Indonesia dan minta Ma’mun jadi wakil ketua, Endi sekretaris, Yos bendahara, dan dia sendiri ketua.
Ini ternyata tak cukup. Iwan ingin melibatkan para penggemarnya langsung. Ide ini dibicarakan dengan Ma’mun, Yos, dan Endi. Hasilnya, mereka sepakat mengundang para penggemar Fals, lewat ke Leuwinanggung selama tiga hari pada pertengahan Agustus 1999.
Kresnowati diminta mengorganisasikan pertemuan itu. Lapangan belakang rumah Iwan ditutup pasir, dibangun tenda besar 600 meter persegi untuk tidur, dibelikan nasi bungkus, dan dicarikan sponsor perusahaan air mineral. Iwan minta tukang membangun 20 kamar mandi.
Ternyata sambutannya besar. Penggemar Iwan dari banyak golongan datang. Ada pencuri, ada bandar narkotik, karyawan biasa, bapak yang sepuh, perempuan tomboy, juga wanita berjilbab. Ada juga yang penampilannya “punk rock abis” dan bikin Wati deg-degan. “Di luar pagar juga banyak yang menunggu mau masuk. Maunya ketemu Iwan, berfoto bersama,” kata Wati.
Ketika diskusi, kualitas mereka kelihatan beragam. Ada yang berapi-api tapi banyak yang asal omong. Antusiasme ini mengejutkan karena Iwan lama tak muncul ke publik. Album terakhirnya keluar 1993.
Wati juga geli melihat tato pada penggemar Fals. Banyak yang punggungnya digambari Iwan. Ada pula tato jidat, daerah antara alis mata, ditato kata “Fals.” Dari Bandung sekelompok penggemar menato kata “Fals” di antara jempol dan jari telunjuk. “Kalau Fals pasti Iwan Fals. Kalau Iwan kan banyak,” kata Ainun Rofiq, manajer restoran cepat saji McDonald yang jadi bendahara Oi.
Semalam sebelum pertemuan, Iwan, Yos, Ma’mun, Endi, dan Wati diskusi. Intinya, mereka mau serahkan kepengurusan Oi kepada orang-orang baru itu atau mereka pegang sendiri? Mereka sepakat dipegang sendiri dulu. Kalau sudah jalan diserahkan pada orang banyak.
“Saya nggak mau kalau ketua. Konsekuensinya berat. Endi juga nggak mau. Sampai pulang nggak jelas. Ma’mun nggak mau juga. Ma’mun ingin Iwan jadi ketua. Endi nggak mau (alasannya) ini khan fans club. Endi keukeuh (harus) Wati,” kata Kresnowati.
Keesokan hari Kresnowati terpilih sebagai ketua Oi. Menurut Digo Zulkifli, penggemar asal Bandung, pada pertemuan tiga hari itu mereka diskusi: mau jadi fans club atau organisasi massa. “Kalau jadi fans club, idolanya sendiri, si bosnya (Fals) nggak enak.” Mereka memutuskan jadi organisasi massa.
Wati pada tahun pertama lebih meletakkan dasar administrasi. Mereka bikin kartu anggota, membuka cabang, dan membuat arsip. “Nggak mudah mengatur 10.000-an orang di seluruh Indonesia.” Kini Oi diketuai Heri Yunarsa, seorang pegawai negeri dari Serang.
Hambatan banyak. Wati melihat orientasi penggemar Fals masih kabur antara organisasi massa dan klub. Banyak yang masuk Oi untuk “cium tangan” Iwan. “Kayak ketemu raja … apalagi daerah lho ... kita jadi bingung ngeliatnya,” kata Wati. Masalah dana juga hambatan. Iwan mungkin orang kaya tapi mendanai organisasi butuh uang besar sekali.
Entah apa yang akan terjadi kalau Iwan suatu saat jadi kurang populer atau makin mengendurkan musiknya? Bagaimana bila Iwan meninggal? Sejauh mana Oi bisa bertahan kalau didasarkan ikatan emosional pada lagu-lagu lama Iwan Fals? Bagaimana mengubah loyalitas individu jadi loyalitas organisasi? Bagaimana Oi bisa “memberdayakan” anggotanya?
Saya ingat Elvis Presley, bintang musik pop Amerika 1960-an, yang mengatakan, “Music is like religion: when you experience them both, it should move you.” Menurut Sun Record, album Presley terjual lebih dari satu milyar selama masa hidupnya (Love Me Tender, It’s Now Or Never atau Are You Lonesome Tonight).
Musik Fals juga menggerakkan banyak orang di Indonesia. Fals dianggap mampu merekam semangat perlawanan orang-orang yang dipinggirkan pada masa Orde Baru. Ketika Presley meninggal, lagu-lagunya malah jadi abadi. Makam dan rumahnya ramai dikunjungi orang. Lagu-lagunya terus direkam ulang dan jadi tambang emas untuk ahli warisnya. Akankah Fals mengikuti jejak Presley? Apakah musik Fals sudah mirip pengalaman beragama?
Iwan sudah pernah memikirkan ini. “Ada saya atau tak ada saya, saya hadir di Oi,” kata Digo Zulkifli menirukan Fals.
Oi kini punya perwakilan di berbagai kota Indonesia. Ini organisasi unik tanpa preseden. Kantor-kantor perwakilannya juga unik. Di Cilegon ia nongkrong di kantor pemerintahan kabupaten. Di Tangerang berkantor di tukang jagal. Banyak juga yang berada di gang-gang sempit. Agus Suprapto dari Oi Yogyakarta mengatakan mereka mendapat bantuan dari Sultan Hamengku Buwono X.
Gema Fals juga tembus hingga Timor Lorosa’e. Hugo Fernandes, redaktur majalah Talitakum, memberitahu saya bahwa panitia kemerdekaan Timor Lorosa’e mengundang Iwan Fals ke Dili ketika negara itu hendak menyatakan merdeka 20 Mei lalu. “Semua orang Dili tunggu Iwan Fals mau datang. Orang kecewa karena Iwan tidak datang. Di Dili dia itu kayak dewa.”
Tampaknya negara kecil yang punya luka tersendiri karena penguasaan Jakarta ini—sering dikatakan sepertiga penduduknya mati karena terbunuh atau kelaparan akibat 22 tahun pendudukan tentara Indonesia—punya banyak orang yang justru merasa ketertindasan mereka diwakili dan disuarakan Iwan Fals.
SESUDAH lama tak berkarya, Iwan Fals mengalami hambatan bikin album baru. Effendy Widjaja, salah seorang direktur Musica, membantu Fals mengatasinya. “A Pen yang mendobrak. Saya harus bikin lagu katanya. ‘Jangan loyo dong!’ Dia mrepet (mengomel),” kata Iwan.
“Akhirnya saya bangkit, minjam duit. Dia pilih dari 300 lagu, dia tandai. Dia pandai, pilihannya saya lihat masih dalam bingkai saya.”
A Pen, nama panggilan Effendy, berunding dengan kakaknya, Sendjaja Widjaja atau A Ciu, presiden direktur Musica, dan Iwan pun diberi pinjaman uang. Mereka tak menyebut berapa pinjamannya. Musica hanya bersedia menjawab pertanyaan saya secara tertulis.
Saya memperkirakan pinjaman ini diperlukan Iwan dan Yos, selaku pemimpin Manajemen Iwan Fals, untuk membiayai “jadwal-jadwal” pemakaian studio untuk latihan, rekaman, dan sebagainya. Kalau biaya sewa studio dihitung Rp 500 ribu sekali pakai, Iwan mengatakan pada saya, ia memakai 720 kali jadwal untuk membuat album yang dinamai Suara Hati. Artinya, Iwan membutuhkan sekitar Rp 360 juta untuk membiayai jadwal rekamannya. Manajemen Iwan Fals memakai pinjaman Musica itu untuk membangun sebuah studio. Iwan lantas menyewa studio itu kepada Manajemen Iwan Fals. Agak rumit memang. Iwan berhitung bisnis dengan istrinya sendiri.
Bagaimana membayar Musica? Iwan menerangkan bahwa royalti sebuah kaset Rp 2.000. Kalau Suara Hati laku, katakanlah 150 ribu, berarti ia mendapat Rp 300 juta. Royalti ini dipakai membayar piutang Musica. “Dari segi ekonomi saya rugi. Saya nggak dapat apa-apa dari Musica. Saya hanya mengharapkan dari royalti ... kaset itu seumur hidup ya,” katanya.
Iwan memanfaatkan teman-teman lama—Inisisri, Nanoe, Iwang Noorsaid, dan Maman Piul (pemain biola)—untuk mengerjakan Suara Hati. Kesulitan terbesar muncul dari komputer. Iwan menggunakan komputer mutakhir Macintosh G4 dalam studio barunya. “Saya nggak pakai operator karena nggak bisa bayar,” kata Iwan. “Saya juga mau belajar komputer.” Iwan tak memahami kerja Macintosh dengan rapi. Dampaknya, ada rekaman-rekaman yang hilang.
Khusus memilih pemain gitar prosesnya berbeda. Suatu hari Endi Aras mengajak Digo Zulkifli, gitaris asal Bandung yang juga penggemar Fals, berkunjung ke Leuwinanggung. Digo membantu Endi di Matamata Communications sesudah kenal saat pembentukan Oi. Hari itu Digo menemui Iwan di studio. Kebetulan Iwan lagi butuh or
Konser Kemerdekaan Iwan Fals Jadi Malamnya Oi
Oleh Andri Oktavia
Malam yang benar-benar berkesan. Kesan tersebut terutama dirasakan oleh kalangan Oi (organisasi massa fans Iwan Fals -red). Pasalnya usai mengikuti kegiatan padat di Jambore III Oi selama dua hari sejak 15/8, malam puncaknya para peserta gelaran tersebut dihibur oleh konser Iwan Fals & Band, sebuah konser kemerdekaan yang bertajuk, Introspeksi: Hidup Bersama Harus Dijaga.
Massa Oi yang semenjak sore sudah bergabung dengan para fans Iwan Fals yang lainnya, sudah menanti-nanti kedatangan Iwan Fals. Mereka memadati Taman Arsipel, TMII, Jakarta.
Pengamatan iwanfals.co.id, tak kurang satu SSK petugas Polisi yang disiagakan di lokasi konser relatif tidak bekerja keras mengamankan jalannya konser, Satgas Oi yang tergabung dalam kepanitiaan bekerja cukup baik dan patut diacungi jempol.
Konsep pengamanan langsung panitia yang hampir sebagian besar berasal dari kalangan Oi, terbukti ampuh membantu konser berjalan lancar. Saat massa penonton mulai ”panas”, segera panitia yang diantaranya disebar di antara penonton, berupaya menenangkan penonton, hingga picuan rusuh, tak sempat terjadi. Padahal sekitar 10.000 fans Iwan Fals hadir malam itu. Acara konser tersebut, juga disiarkan secara live oleh tvOne, sehingga gaungnya bertambah santer.
Saat penonton benar-benar padat, konser yang ditunggu-tunggu belum juga dimulai. Namun, meski konser belum dimulai padahal para penonton sudah menunggu selepas Maghrib, mereka tetap tertib.
Mungkin mereka merasakan bahwa acara itu, adalah momen milik mereka, sehingga mereka tak memberi kesempatan ”pengacau” merusak acara dari mereka untuk mereka itu.
Sesekali diantara mereka tampak membuat kegiatan sendiri mengisi waktu, menunggu pukul 21.30, jadwal Iwan naik panggung. Yang tampak, mereka bernyanyi bersama, koor “saur..saur..saur...”, menertawai polah rekan-rekannya, dan sebagainya.
Sementara, di panggung acara penunjang, yang berlokasi di samping panggung utama, digelar acara Kabar Sepekan tvOne, dengan penampilan dari Krisyanto, Ipang, Molusca, yang didukung oleh Mini Orchestra Widya Kristianti.
Kabar Sepekan juga dimeriahkan dengan diskusi sejarah proklamasi, yang menampilkan Sejarahwan Anhar Gonggong, Murder (fotografer Iphoss), serta Mayjen Purn. Sukotjo. Teaterwan, Cornelia Agatha juga tampak membawakan beberapa puisi.
Waktu yang ditunggu pun tiba, pukul 21.30 Iwan Fals & Band naik ke panggung, ribuan fansnya tampak bersorak meneriakkan nama Iwan, sesekali juga meneriakkan nama musisi lainnya.
Kesan Iwan Fals sosok yang tidak sekedar dikagumi, melainkan juga dicintai fansnya, benar-benar terlihat. Beberapa fans yang berada di baris depan tampak berkaca-kaca, melihat dari dekat idolanya, terlebih butuh perjuangan, agar bisa berada di barisan depan penonton.
Iwan Fals & Band membuka penampilan mereka dengan medley sebagian awal lagu Bagimu Negeri disambung dengan lagu Bangunlah Putra-Putri Pertiwi. Berturut-turut lagu lainnya dinyanyikan Iwan, diantaranya, Kupaksa Untuk Melangkah dan Alam Malam. Khusus di lagu Alam Malam, Iwan tampak menyebut-nyebut nama rekannya, Mbah Surip dan WS Rendra.
Perlahan tapi pasti, penonton memperoleh keriangan yang diharapkan. Keringat diantara mereka juga mulai bercururan, karena bergoyang, mengibarkan bendera-bendera Oi, sembari koor.
Tak berapa lama kemudian, naik ke panggung Ustad Jefri Al Buchori, mengisi beberapa menit di malam itu, yang sekaligus malam kemerdekaan, dengan siraman rohani, disebutnya Tauziah.
Inti Tauziah, Jefry menyayangkan, meski bangsa Indonesia sudah merdeka, sesungguhnya manusianya masih dijajah oleh setan. Demikian pula pemimpinnya yang bahkan ada diantaranya masih berbuat demi kepentingan diri sendiri dan golongan. Dia berharap Allah membukakan pintu hati semua rakyat Indonesia, untuk menjadi bangsa yang merdeka sesungguhnya.
Acara berlanjut kembali, Iwan naik ke atas panggung. Dibawakannya Lagu Satu, Rubah, dan Negara, penonton perlahan juga mulai menurun emosinya, karena khusus di lagu Rubah, dengan aransemen lagu blues, betul-betul pas dibawa bergoyang pelan.
Sesudahnya, dibawakan tembang Suara Hati dan Untuk Para Pengabdi. Di lagu ini, Iwan tampak berkolaborasi dengan Ketua Oi, Digo. Disusul tembang Berasatulah Oi, yang diiringi oleh koor penonton, serta tembang Lingkaran Aku Cinta Padamu, di dua lagu ini tampak ikut serta personil Band Digo mengiringi.
Lagu syahdu, Nyanyian Jiwa lantas mengajak para penonon berdendang. Tidak hanya Iwan dan personil bandnya, tampak menghayati betul lagu ini. Uniknya, sepenjang gelaran musik ini, nyaris tak ada lagu yang tanpa disertai koor penonton, begitupun dengan lagu ini.
Lagu Nyanyian Jiwa seperti menjadi contoh dan teladan bagi para fans. Lagu ini sangat bernuansa tuntunan hidup, namun terkadang meledak-ledak, beberapa kelokan-kelokan nada membuat lagu ini jadi salah satu lagu yang paling ditunggu.
Dari ketukan drum Deni Kurniawan, jadi penanda sebuah lagu yang akan menyusul usai dendang Nyanyian Jiwa. Irama etnis lantas mulai menyambar, sesekali terasa ada suara gamelan dan kendang.
Lagu Hio lantas mulai dibawakan, sontak notasi maupun irama mengajak penonton kembali bergoyang. Lagu ini betul-betul ”berbau” musik tradisi, sangat asyik. Apalagi, Totok Tewel, sang punggawa gitar baru di band Iwan, menikmati betul lagu ini. Sesekali Totok sembari memainkan gitar juga tampak memejam mata, menghayati lagu. Betul juga usai lagu ini dibawakan rasanya tak ada kata yang bisa mewakili asyiknya lagu tersebut.
Beberapa lagu syahdu, lantas susul-menyusul dibawakan Iwan, menuju penghujung konser. Lagu tersebut, Kebaya Merah dan Kesaksian di luar lagu yang didendangkan untuk menghormati ”anak-anaknya” Oi, karena keesokannya mesti kembali ke daerah masing-masing di seluruh Indonesia. Lagu Kesaksian pun di-medley kembali dengan sebagian akhir lagu Bagimu Negeri sebagai pertanda berakhirnya konser.
Yang menjadi catatan konser malam itu, konser berjalan aman, lancar dan sukses. Tak bisa diukur dengan kata, ”keperkasaan” Iwan Fals & Band di atas panggung, serta semangat fans Iwan Fals malam itu. Luar biasa, jadi pas betul dengan tajuknya, Hidup Bersama Harus Dijaga.
Kehadiran Totok Tewel, jadi warna yang berbeda. Beberapa aksi panggung Tewel yang jadi ciri khasnya, mampu mengantarkan Iwan Fals sampai pada puncaknya yang maksimal. Meski semua personil band Iwan Fals malam itu tampil sempurna, sebuah pertunjukan musik yang asyik dan sangat berkelas.
Selanjutnya, Iwan Fals begitu prima. Tak tampak sisa kelelahan usai mengikuti berbagai acara terkait HUT Oi, maupun beberapa acara di luar Oi yang intensitasnya jadi meningkat di bulan Agustus ini.
Beberapa fans Iwan Fals yang ditemui iwanfals.co.id usai acara, rata-rata senada. Semuanya mengaku puas, dengan suguhan konser malam itu. Setidaknya seperti yang dikatakan oleh Wawan, peserta Jambore Oi asal Probolinggo. ”14 jam perjalanan saya menuju Jakarta, plus beberapa hari di Jambore yang cukup melelahkan betul-betul terbayar lunas malam ini,” urainya.
Khusus terkait Oi, dia mengaku agar Oi Crisis Center betul-betul bisa terwujud di semua BPK Oi tiga tahun mendatang, agar bakti Oi bagi masyarakat bisa semakin nyata. Disamping Jambore yang juga bisa lebih sering digelar, supaya bisa tergali potensi anak-anak Oi yang sesungguhnya amat banyak.
Bahkan, dia mengaku tidak masalah Iwan tidak menyanyikan dua buah lagu yang paling ditunggu-tunggu oleh kalangan fans malam itu, yaitu Bento dan Bongkar. ”Mungkin Mas Iwan punya pertimbangan lain, agar lagu tersebut tidak dinyanyikan. Lebih ke psikologi massa saja agar semuanya tetap damai hingga akhir,” urainya.
Sementara Sigit (27) yang tergabung di Oi Lampung mengaku sangat puas dengan tontonan malam itu, karena semua musisi tampil maksimal juga seperti kembali terkenang sosok Iwan di saat muda dulu, yang selalu tampil ”garang” di atas panggung. ”Malam ini semuanya kembali, Iwan Fals tampil energik dan terlihat seperti masa mudanya,” tambahnya.
Sigit yang datang dari Lampung bersama 15 orang rekannya menggunakan sepeda motor, merasa terbayar lunas semua kelelahan yang dialaminya di perjalanan. Apalagi, tema lagu-lagu yang dibawakan pas dengan Hari Kemerdekaan, ”Nasionalisme Iwan Fals belum habis, semua lagu yang diangkat malam ini sangat nasionalis. Terus berkarya bang Iwan!” urainya.
Selain Iwan Fals, dia mengaku sangat terkesan dengan penampilan Totok Tewel malam itu. ”Totok memberi karakter berbeda pada musik-musik yang dimainkan para musisi malam ini,” tambahnya.
Demikian pula dengan Lengkoy (35), fans Iwan yang juga anggota Oi Jakarta Timur. Baginya kesan malam konser tersebut sangat sulit diceritakan. Yang lebih menyenangkan lagi, beberapa hari digelarnya Jambore, dia jadi lebih mengenal Iwan Fals yang sangat rendah hati, karena Iwan sempat beberapa kali hadir di Jambore, bahkan berjoget bersama.
Dia juga berharap agar Iwan tetap terus eksis di belantika musik, terutama dengan mencipta lagi lagu-lagu bertema kritik sosial. Apalagi baginya, jadi begitu banyak yang perlu ”ditusuk” oleh Iwan Fals saat ini.
Disamping itu, dia juga mengaku rada kurang klop rasanya malam itu, karena Iwan Fals hingga akhir gelaran tetap enggan membawakan lagu Bento atau Bongkar. Dua buah lagu yang identik dengan seorang Iwan Fals. Meski rasa puas tetap tidak dipungkirinya malam itu melihat penampilan Iwan Fals & Band. Selamat Ulang Tahun Oi... Sumber:iwanfals.coi.id
Iwan Fals dan 'Oi'
Momentum perayaan kemerdekaan negeri ini di bulan Agustus nampaknya menjadi momen spesial juga bagi musisi kawakan Iwan Fals. Legenda hidup tersebut akan menggelar konser kemerdekaan bertajuk Introspeksi: Hidup Bersama Harus Dijaga, yang akan berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah, 15 sampai 16 Agustus mendatang.
"Konser ini untuk merayakan HUT RI yang ke-64, sekaligus untuk merayakan ulang tahun Oi yang ke-10, sekaligus 1 tahunnya website Iwan Fals www.iwanfals.co.id, akan digelar 15-16 Agustus. Jadi ini satu rangkaian. Tanggal 15 itu Jambore Nasional di TMII, yang kemudian acara puncaknya tanggal 16, yaitu konsernya dari jam 7 malam," ujar Iwan menjelaskan.
Info untuk Anda: "Semua berita KapanLagi.com bisa dibuka di ponsel. Pastikan layanan GPRS atau 3G Anda sudah aktif, lalu buka mobile internet browser Anda, masukkan alamat: m.kapanlagi.com"]
Ditemui KapanLagi.com dalam preskon jelang konsernya di Museum Indonesia TMII, Rabu (12/8), pemilik nama Virgiawan Listianto tersebut juga mengutarakan kekagumannya terhadap Oi (Orang Indonesia), organisasi fansnya yang berinisiatif menggelar konser besar jelang hari kemerdekaan itu.
"Ini cukup mengejutkan, yang ngadain itu Oi dan saya dibayar secara profesional, tapi saya nggak bisa menyebut angka karena nggak etis. Saya nggak nyangka aja, Oi bisa seperti ini, bisa menyelenggarakan konser sebesar ini," ungkapnya penuh rasa bangga.
"Ini sangat relevan dengan kondisi bangsa ini, karena tanpa introspeksi kita nggak tahu kesalahan kita di mana. Potongan juga dari puisi W.S Rendra yang berjudul Kesaksian, nah judulnya itu juga dijadikan judul lagu di dalam album Kantata Takwa," tambahnya saat ditanya soal tema konser.
Sementara untuk rincian acara, musisi yang akan genap berusia 48 tahun 3 September mendatang itu menjelaskan susunan rangkaian konser 2 hari tersebut.
"Untuk acara tanggal 15 kita mengumpulkan 1200 anggota Oi dari seluruh Indonesia. Nanti di sana banyak kegiatan seperti games, workshop dan banyak lainnya," terangnya.
Sebelum Iwan tampil, dijadwalkan Ketua dari Badan Pengurus Pusat Oi, Digo, akan tampil dalam komposisi bandnya, Digo n Band sebagai band pembuka.
Iwan Fals Dibayar Profesional oleh Penggemar
Artis musik kawakan Iwan Fals mengaku terharu dan bangga lantaran OI (Orang Indonesia), komunitas penggemarnya, akan menggelar konser dalam rangka menyambut ulang tahun ke-64 Kemerdekaan RI, 17 Agustus nanti. Apalagi, oleh OI, ia dibayar secara profesional, bukan dengan harga "pertemanan" apalagi gratis.
"Enggak nyangka, ternyata OI bisa menyelenggarakan acara sebesar ini dan saya dibayar profesional. Tapi, saya tidak bisa menyebutkan berapa, karena enggak etis," tutur Iwan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Rabu (12/8).
Iwan tak mengira bahwa OI, yang dibentuknya 10 tahun lalu, menjadi organisasi masyarakat yang cukup besar seperti sekarang ini. "Padahal, OI itu dulu, awal dibentuk, saya hanya menganggap anak sendiri. Tapi, ternyata OI sudah jadi organisasi masyarakat yang cukup besar dan bisa mengadakan acara sebesar ini," sambungnya.
Pemusik lintas generasi ini juga menerangkan bahwa konser tersebut akan diadakan bekerja sama dengan Tiga Bambu MC Pro pada Minggu, 16 Agustus, juga sekaligus dalam rangka ulang tahun ke-10 OI. "Acara ini untuk peringati HUT ke-64 Kemerdekaan RI dan ultah ke-10 OI. Tajuknya adalah introspeksi, hidup bersama harus dijaga," jelas Iwan.
Konser di panggung Arsipel, TMII, mulai pukul 19.00 WIB, itu akan dihadiri kira-kira 1.200 anggota OI di seluruh Indonesia. "Mungkin, inilah konser yang paling besar. Saya dan khususnya kita semua harus mendukung agar konser tersebut berjalan dengan lancar dan baik sehingga terhindar dari hal-hal yang kita tidak inginkan," harapnya.
Sebelum konser itu, pada 15-16 Agustus, OI akan pula mengadakan Jambore OI, yang merupakan tradisi perayaan ulang tahun OI. Temanya "Hidup Bersama Harus Dijaga", yang merupakan potongan dari puisi Kesaksian karya (mendiang) WS Rendra.
Demokrasi Nasi
Ini adalah salah satu lirik lagu Iwan Fals yang menjadi kontroversial. Pada bulan April tahun 1984 Iwan Fals harus berurusan dengan aparat keamanan dan sempat ditahan dan diinterogasi selama 2 minggu gara-gara menyanyikan lirik lagu ini bersama lagu-lagu berlirik keras lainnya pada sebuah konser di Pekanbaru. Menurut pihak keamanan, lagu semacam ini dianggap dapat mengganggu stabilitas. "Aparat keamanan nyuruh aku bikin lagu seperti lagunya Rinto Harahap dan A. Riyanto. Ya jelas dong, nggak bakalan laku!", ujar Iwan Fals sambil menyibak rambutnya. (petikan jawaban Iwan Fals diambil dari sini). Pada masa itu disaat banyak penyanyi lain lebih memilih jalur cinta, Iwan Fals justru sangat berani ‘menantang’ lewat lirik-lirik lagunya yang pedas dan membuat penguasa saat itu berusaha ‘mendidik’ Iwan Fals. Lagu ini selain pernah dibawakan pada konser-konser, juga pernah diputar di sebuah stasiun radio amatir)
Demokrasi Nasi
Iwan Fals (1978)
Ada lagi sebuah perkara
Tentang nyawa manusia
Kisah ini memang sudah lama
Tapi benar terjadi
Anak seorang menteri
Membuat onar lagi
Menembak sampai mati
Kok nggak ada sangsi?
Tentu bukan sesuai dengan undang-undang
Di negeri ini yang katanya demokrasi
Lain lagi dengan orang biasa
Bila mereka curiga
Langsung masuk penjara
Tanpa bukti nyata
Mengapa?
Mengapa?
Undang-undang tampaknya sakit perut
Tuan tolong panggilkan dokter ahli
Untuk Indonesia yang bisa hidupnya
Mungkin terkena wabah kolera
Undang-undang tampaknya sedang sakit
Tuan tolong panggilkan dokter ahli
Untuk Indonesia
Mungkin terkena wabah selesma
Anak Cendana (Pola Hidup Sederhana)
Ini adalah salah satu lirik lagu Iwan Fals yang juga menjadi kontroversial. Pada tahun 1984 Iwan Fals harus berurusan dengan aparat kepolisian dan sempat ditahan selama 2 minggu gara-gara menyanyikan lirik lagu ini bersama lagu-lagu berlirik keras lainnya pada sebuah konser. Pada masa itu disaat banyak penyanyi lain lebih memilih jalur cinta, Iwan Fals justru sangat berani ‘menantang’ lewat lirik-lirik lagunya yang pedas dan membuat penguasa saat itu berusaha ‘mendidik’ Iwan Fals. Lagu ini pada waktu itu sempat dibawakan pada konser-konser dan juga pernah di putar di sebuah stasiun radio amatir. Membaca judulnya saja kita pasti mudah memahami siapa yang dimaksud oleh Iwan Fals.)
Anak Cendana (Pola Hidup Sederhana)
Iwan Fals (1978)
Anggrek anggrek subur
Dalam taman yang berpagar peluru
Cengkeh kopi dan teh
Serta banyak pabrik di pelosok negeri ini kau punya
Tak kan habis harta tuan tuk tujuh turunan
Pola sederhana itu yang kau minta
Bagi kami hidup berdagang
Bagi kami hidup bertani
Bagi kami pegawai negeri
Bagi kami gelandangan keki
Bagi kami pelacur kelas tinggi
Serta bagi kami yang ABRI
Pola sederhana kan kami lakukan
Asal tuan sudah melakukan
Asal tuan sudah melakukan
HIKMAH PUASA
Marhaban ya Ramadhan
Ramadhan adalah bulan disyari'atkannya puasa, yang merupakan salah satu dari rukun Islam, sebagaimana firman Allah SWT:
"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atasa orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa" [al-Baqarah:183]
Puasa telah dilaksanakan sejak lama sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu puasa. Dalam sejarah agama-agama besar, puasa sudah tidak asing lagi.
Universalitas puasa bisa dimengerti karena esensi dari puasa itu sendiri bukannya "mengerjakan" melainkan "menahan diri", yakni menahan diri dari makan dan minum, tidak melakukan seksualitas di siang hari serta menghindari sikap hewani yang merusak. Dianjurkan pula ibadah pada malam harinya untuk beribadah (qiyamullail). Karena sesungguhnya bulan Ramadhan adalah bulan yang mulia, sumber segala rahmat dan kebaikan. Allah memberi keberkahan dan maghfirah. Para Malaikat turun untuk ikut memanjatkan do'a dan pujian agar manusia memperoleh ampunan. Semua pintu kebaikan dibuka lebar-lebar serta semua setan "dibelenggu." Rasulullah mengkhususkan bulan ini sebagai bulan untuk beribadah melampaui bulan-bulan lainnya. Demikian juga para sahabat, mereka saling bergegas dalam amal-amal kebaikan semata-mata mengharap ridha Allah SWT.
Hikmah Ramadhan
Selain posisi istimewa di sisi Allah SWT yang diperoleh oleh seorang mukmin yang berpuasa, hikmah dari puasa juga teramat besar. Baik hikmah rohani maupun jasmani, baik terhadap diri pribadi maupun kepada masyarakat luas.
Ramadhan juga sebagai syahrul ibadah (bulan ibadah) dimana terdapat nilai ibadah yang tinggi serta semangat beribadah yang tinggi. Selain itu juga sebagai "Syahrul Fath" (bulan kemenangan). Umat Islam memperoleh kemenangan dalam "perang kecil", perang Badar. Bisa dikatakan juga sebagai "Syahrul Huda" (bulan petunjuk) karena pada bulan Ramadhanlah turunnya petunjuk kehidupan yaitu al-Quran pada pertama kalinya. Selain itu bulan Ramadhan juga disebut sebagai "Syahrul Ghufran" (bulan penuh ampunan). Pada bulan ini, dimudahkan pintu pengampunan dan pembebasan dari api neraka. Sebagai "Syahrus Salam" (bulan keselamatan), bulan Ramadhan adalah bulan yang mengandung nilai-nilai edukatif yang dapat menciptakan keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian bagi umat manusia. Dan yang terakhir adalah sebagai "Syahrul Jihad" (bulan perjuangan). Pada bulan ini, manusia dihadapkan pada perjuangan yang amat besar. Mereka menahan diri dari perbuatan yang biasa diperbuat, selain menahan diri dari "ritualitas" makan dan minum sebagai kebutuhan primer sejak fajar sampai terbenamnya matahari. Dan kalau sudah berbuka, dianjurkan untuk menahan diri dari makan dan minum yang berlebihan bahkan dianjurkan untuk membatasinya. Upaya ini merupakan cara untuk memelihara kesehatan jasmani. Bukankah masalah perut (makan dan minum) juga pemicu timbulnya penyakit jiwa? Begitulah kira-kira apa yang dikatakan para sufi.
Kalau penyakit "rakus dan tamak" menimpa seseorang, akibat dan bahayanya bukan hanya terbatas pada lingkungan kecil tetapi lambat laun akan merambat dalam kehidupan berbangsa sehingga akan menimbulkan semangat kapitalisme yang kemudian bersifat ekspansif, yaitu mengeksploitasi milik orang lain akibat sifat serakahnya tersebut. Sehingga benar apa yang disinyalir Imam Ghazali dalam Ihya 'Ulumuddin-nya bahwa bencana paling besar dalam kehidupan manusia adalah nafsu perut.
Kalau kita melaksanakan puasa, kita akan mengadaptasi diri kita dengan mereka yang berekonomi lemah yang sering merasakan haus dan lapar, sehingga akan timbul rasa kasih sayang dan ketajaman rasa sosial yang akan menjadi pengalaman rohani tersendiri. Mungkinkah kasih sayang tidak tumbuh ketika pemandangan itu terjadi di depan mata kita?
Dalam batas yang paling rendah; setidak-tidaknya kehausan dan kelaparan yang diakibatkan puasa tersebut akan mengingatkan kita pada kaum fakir miskin sehingga termanifestasi dengan sedekah yang banyak sebagai tindakan konkrit dari rasa solidaritas sosial yang nantinya akan menjembatani antara the have dan the have not yang pada titik akhirnya akan tercipta sumber daya manusia yang mempunyai etika dan kepekaan sosial yang tinggi.
Masih banyak hikmah-hikmah lain yang bisa kita petik intisarinya dari pelaksanaan puasa. Semoga bukan hanya sekedar idealisme belaka, melainkan sebuah realitas sepanjang masa setelah menjalani Ramadhan.
Semoga saja kita dapat menjadikan Ramadhan sebagai wadah penggemblengan mental sehingga tercipta kontrol diri yang baik yang akan meluas dampaknya ke masyarakat sehingga puasa bukan hanya memperoleh lapar dan haus saja, agar kita tidak tergolong orang-orang yang disinyalir Nabi SAW:
"Berapa banyak orang yang berpuasa tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus."
Tapi kita berharap dengan puasa disamping hikmah yang dikandungya, yang paling penting adalah semua semata-mata pengabdian kita kepada Allah SWT.
Semoga ibadah kita diterima Allah SWT. Amien.
Kamis, 20 Agustus 2009
MARHABAN YA RAMADHAN
MENGUCAPKAN
SELAMAT MENJALANKAN
IBADAH PUASA DI BULAN SUCI RAMADHAN
SEMOGA KITA SENANTIASA MENDEKATKAN DIRI
PADA MAHA PENCIPTA
Iwan Fals Dibayar Profesional oleh Penggemar
Artis musik kawakan Iwan Fals mengaku terharu dan bangga lantaran OI (Orang Indonesia), komunitas penggemarnya, akan menggelar konser dalam rangka menyambut ulang tahun ke-64 Kemerdekaan RI, 17 Agustus nanti. Apalagi, oleh OI, ia dibayar secara profesional, bukan dengan harga "pertemanan" apalagi gratis.
"Enggak nyangka, ternyata OI bisa menyelenggarakan acara sebesar ini dan saya dibayar profesional. Tapi, saya tidak bisa menyebutkan berapa, karena enggak etis," tutur Iwan di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Rabu (12/8).
Iwan tak mengira bahwa OI, yang dibentuknya 10 tahun lalu, menjadi organisasi masyarakat yang cukup besar seperti sekarang ini. "Padahal, OI itu dulu, awal dibentuk, saya hanya menganggap anak sendiri. Tapi, ternyata OI sudah jadi organisasi masyarakat yang cukup besar dan bisa mengadakan acara sebesar ini," sambungnya.
Pemusik lintas generasi ini juga menerangkan bahwa konser tersebut akan diadakan bekerja sama dengan Tiga Bambu MC Pro pada Minggu, 16 Agustus, juga sekaligus dalam rangka ulang tahun ke-10 OI. "Acara ini untuk peringati HUT ke-64 Kemerdekaan RI dan ultah ke-10 OI. Tajuknya adalah introspeksi, hidup bersama harus dijaga," jelas Iwan.
Konser di panggung Arsipel, TMII, mulai pukul 19.00 WIB, itu akan dihadiri kira-kira 1.200 anggota OI di seluruh Indonesia. "Mungkin, inilah konser yang paling besar. Saya dan khususnya kita semua harus mendukung agar konser tersebut berjalan dengan lancar dan baik sehingga terhindar dari hal-hal yang kita tidak inginkan," harapnya.
Sebelum konser itu, pada 15-16 Agustus, OI akan pula mengadakan Jambore OI, yang merupakan tradisi perayaan ulang tahun OI. Temanya "Hidup Bersama Harus Dijaga", yang merupakan potongan dari puisi Kesaksian karya (mendiang) WS Rendra.JAKARTA, KOMPAS.com Selanjutnya......
Iwan Fals dan 'Oi'
Momentum perayaan kemerdekaan negeri ini di bulan Agustus nampaknya menjadi momen spesial juga bagi musisi kawakan Iwan Fals. Legenda hidup tersebut akan menggelar konser kemerdekaan bertajuk Introspeksi: Hidup Bersama Harus Dijaga, yang akan berlangsung di Taman Mini Indonesia Indah, 15 sampai 16 Agustus mendatang.
"Konser ini untuk merayakan HUT RI yang ke-64, sekaligus untuk merayakan ulang tahun Oi yang ke-10, sekaligus 1 tahunnya website Iwan Fals www.iwanfals.co.id, akan digelar 15-16 Agustus. Jadi ini satu rangkaian. Tanggal 15 itu Jambore Nasional di TMII, yang kemudian acara puncaknya tanggal 16, yaitu konsernya dari jam 7 malam," ujar Iwan menjelaskan.
[Info untuk Anda: "Semua berita KapanLagi.com bisa dibuka di ponsel. Pastikan layanan GPRS atau 3G Anda sudah aktif, lalu buka mobile internet browser Anda, masukkan alamat: m.kapanlagi.com"]
Ditemui KapanLagi.com dalam preskon jelang konsernya di Museum Indonesia TMII, Rabu (12/8), pemilik nama Virgiawan Listianto tersebut juga mengutarakan kekagumannya terhadap Oi (Orang Indonesia), organisasi fansnya yang berinisiatif menggelar konser besar jelang hari kemerdekaan itu.
"Ini cukup mengejutkan, yang ngadain itu Oi dan saya dibayar secara profesional, tapi saya nggak bisa menyebut angka karena nggak etis. Saya nggak nyangka aja, Oi bisa seperti ini, bisa menyelenggarakan konser sebesar ini," ungkapnya penuh rasa bangga.
"Ini sangat relevan dengan kondisi bangsa ini, karena tanpa introspeksi kita nggak tahu kesalahan kita di mana. Potongan juga dari puisi W.S Rendra yang berjudul Kesaksian, nah judulnya itu juga dijadikan judul lagu di dalam album Kantata Takwa," tambahnya saat ditanya soal tema konser.
Sementara untuk rincian acara, musisi yang akan genap berusia 48 tahun 3 September mendatang itu menjelaskan susunan rangkaian konser 2 hari tersebut.
"Untuk acara tanggal 15 kita mengumpulkan 1200 anggota Oi dari seluruh Indonesia. Nanti di sana banyak kegiatan seperti games, workshop dan banyak lainnya," terangnya.
Sebelum Iwan tampil, dijadwalkan Ketua dari Badan Pengurus Pusat Oi, Digo, akan tampil dalam komposisi bandnya, Digo n Band sebagai band pembuka. Selanjutnya......PELATIHAN PERCETAKAN
FUTSAL
Kegiatan Jambore 2009
Selasa, 18 Agustus 2009
HIDUP BERSAMA HARUS DI JAGA
Ormas Orang Indonesia (OI), organisasi beranggotakan para penggemar penyanyi Iwan Fals, akan menggelar Konser Kemerdekaan bertajuk "Introspeksi: Hidup Bersama Harus Dijaga" di Panggung Arsipel, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta Timur, Minggu (16/8) malam.
Siaran pers yang diterima Antara di Jakarta, Jumat (14/8), menyebutkan, konser kemerdekaan yang digelar bekerja sama dengan Tiga Rambu dan MCPro itu digelar dalam rangka ulang tahun OI yang ke-10, sekaligus untuk memperingati HUT ke-64 Kemerdekaan RI.
Konser ini akan menampilkan "Iwan Fals dan Band". Menurut Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) OI, Digo Zulkifli, selain acara konser yang menampilkan penyanyi sekaligus pendiri OI, Iwan Fals, peringatan HUT OI juga diramaikan dengan Jambore Nasional yang pesertanya adalah anggota OI dari berbagai penjuru Tanah Air.
Menurut dia, tidak kurang dari 1.200 anggota OI dari berbagai daerah di Indonesia akan melakukan kegiatan Jambore pada 15-16 Agustus 2009.
Digo mengatakan, Jambore Nasional OI dilaksanakan tiga tahun sekali. Sejak berdirinya tahun 1999, katanya, OI sudah melaksanakan tiga kali kegiatan Jambore Nasional dan Konser Kemerdekaan 2009 merupakan acara puncak dari kegiatan Jambore Nasional OI, sekaligus persembahan BPP (OI) untuk semua anggota OI di manapun berada khususnya, dan rakyat Indonesia umumnya.
Berkaitan dengan tema konser "Introspeksi: Hidup Bersama Harus Dijaga", Digo mengemukakan, tema tersebut sangat relevan dengan kondisi bangsa saat ini.
Dalam konser itu sendiri Iwan Fals & Band akan membawakan lagu-lagu dari album lama dan baru yang sejalan dengan tema yang diusung OI itu. Selain lagu "Kesaksian", Iwan Fals akan membawakan lagu "Bangunlah Putra Putri Ibu Pertiwi", "Negara", "Rubah", dan sejumlah lagu lainnya yang sangat akrab di telinga penggemarnya.
Selanjutnya......