“DUNIA politik penuh dengan intrik. Cubit sana cubit sini, itu sudah lumrah. Seperti orang pacaran, kalau gak nyubit gak asyik. Dunia politik penuh dengan intrik. Kilik sana kilik sini, itu sudah wajar. Seperti orang ngadu jangkrik. Kalau gak ngilik gak asyik. Rakyat nonton jadi suporter, kasih semangat jagoannya. Walau tahu jagoannya ngibul, walau tahu dapur gak ngepul. Dunia politik dunia bintang. Dunia pesta pora para binatang. Berjoget dengan asyik. Dunia politik punya hukum sendiri. Colong sana colong sini, atau colong-colongan. Seperti orang nyolong mangga. Kalau gak nyolong gak asyik. Rakyat lugu kena getahnya. Buah mangga entah ke mana. Tinggal biji tinggal kulitnya. Tinggal mimpi ambil hikmahnya. Dunia politik dunia bintang. Dunia hura-hura para binatang. Asyik gak asyik. Dunia politik memang asyik gak asyik. Kadang asyik kadang nggak. Di situ yang asyik adanya. Seperti orang main catur. Kalau gak ngatur gak asyik. Pion bingung gak bisa mundur. Pion-pion gak mungkin kabur. Menteri, luncur, kuda, dan benteng galaknya melebihi raja. Raja tenang gerak selangkah, sambil menyematkan hadiah.”
Kutipan di atas adalah bait-bait nyanyian yang dilantunkan Iwan Fals dalam album lagunya berjudul Untukmu Negeri. Pilkada adalah dunia politik. Karena dunia politik, apakah Pilkada “penuh intrik, cubit sana cubit sini, sudah lumrah?” Kampanye Pilkada sudah dekat. “Rakyat nonton jadi suporter, kasih semangat jagoannya. Walau tahu jagoannya ngibul, walau tahu dapurnya gak ngepul.” Dalam kampanye Pilkada, jagoan dan tim pemenangannya ngibul, siapa berani negur? Saat kampanye Pilkada, dapur tak menyala, tak masalah. Semoga para jagoan menabur berkah “money politics?” Sepanjang jalur kampanye, berkah dihamburkan.
Sepanjang jalur kampanye, rakyat mengelu-elukan. Sepanjang jalur kampanye, mimpi-mimpi ditumpahkan. Rakyat di pinggir jalan memungut mimpi-mimpi itu. Setiba di rumah, mimpi-mimpi itu dikupas dan dibelah. Isinya: “Tinggal biji tinggal kulitnya, tinggal diambil hikmahnya.” Rakyat dari negeri terkebelakang memang gemar menabung hikmah. Pilkada bermain di tengah rakyat yang cerdas, yang kurang cerdas, atau yang …? Kalau sudah begitu, siapa berani negur?
“Dunia politik dunia bintang” Dalam Pilkada bertaburan bintang-bintang. Bintang-bintang para jagoan. Bintang-bintang para tim pemenangan. Pilkada dunia pesta pora para bintang. Pesta pora para bintang berbahasa Inggris. Pesta pora para bintang berbahasa ayat suci. Pesta pora para bintang berbahasa Tionghoa. Ada udang di balik batu, kata peribahasa. Adakah udang di balik “Inggris?” Adakah udang di balik “ayat suci?” Adakah udang di balik “Tionghoa?” Udang-udang berpesta pora di balik batu. Udang-udang berpesta pora di Pilkada. Udang bukan manusia, tapi binatang. Udang-udang itukah yang dimaksud Iwan Fals dalam lagunya yang dikutip di atas, “Dunia politik dunia bintang. Dunia pesta pora para binatang?” “Dunia politik dunia bintang. Dunia hura-hura para binatang?” Tentu bukan! Sebab, udang bukan bintang. Ach, Iwan Fals!
Hari “H” Pilkada sudah semakin dekat, hari Senin tanggal 5 November 2007. Waktu semakin mepet. Semua luang dan ruang dimanfaatkan seefektif dan semaksimalnya. Bolehkah menara rumah ibadah dimanfaatkan. Kenapa tidak? Khutbah agama saja boleh. Bolehkah pintu-pintu kantor pemerintah dimanfaatkan? Kenapa tidak? Yang punya kantor saja dan segenap wewenangnya sudah lama turun ke arena. Apalagi yang masih bisa dimanfaatkan seefektif dan seoptimalnya? Yaitu, tingkat keterbelakangan suatu negeri.
Kalau sudah begitu, siapa berani negur? KPUD dan Panwas Pilkada! Ach, masak (berani)? Kalau begitu, pemerintah dong! Subhanallah! Ya, DPRD dong! Nauzu billah min zalik! Jadi? Ya, kita ber-Pilkada atas dasar nurani bening dan akal sehat, dong, agar lagu Iwan Fals tidak menjadi kenyataan.*
Sabtu, 23 Mei 2009
Dunia Politik (Iwan Fals) Dunia Pilkada
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar